Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Melihat Kembali Fenomena "Salah Profesi"

27 Maret 2021   15:23 Diperbarui: 27 Maret 2021   15:32 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal jurusan kuliah, kebanyakan orang pastinya berharap, profesi yang didapat setelah lulus kuliah akan linear dengan jurusan. Misalnya, sarjana pertanian (diharapkan) menjadi ahli pertanian, dan sarjana ekonomi menjadi ekonom, akuntan, atau manajer.

Harapannya kebanyakan memang seperti itu, tapi realita kadang berkata lain. Ada sarjana pertanian yang menjadi bankir, ada sarjana hukum yang jadi jurnalis, ada juga juga sarjana ekonomi yang menjadi pekerja serabutan.

Kebetulan, saya sendiri ada di kasus ketiga. Tapi, jujur saja, saya tidak melihat ini sebagai satu kesalahan.

Pertama, keilmuan jurusan kuliah yang saya ambil, yakni ekonomi manajemen, pada dasarnya bersifat umum, karena sebetulnya memang bisa diterapkan di berbagai bidang. Jadi, langsung mengkorelasikannya hanya dengan profesi manajer adalah cara pandang sangat picik.

Apalagi, jika menyebut, sarjana bidang lain yang dituduh mencuri kavling. Kalau tuduhannya seperti itu, apa kabarnya para sarjana yang jadi ibu rumah tangga, atau mereka yang dipaksa imbas pandemi jadi pengangguran?

Selama pendidikan hanya berorientasi pada skor angka dan huruf, bukan nilai, selama itu juga fenomena "salah jurusan" akan terjadi. Semua terbiasa berpikir pragmatis, karena memang dididik dengan pola pikir pragmatis.

Kedua, budaya dunia kerja di negeri ini masih cenderung diskriminatif kepada penyandang disabilitas seperti saya. Selama syarat "sehat jasmani/rohani" masih ada, selama itu juga saya tidak akan melihat latar belakang jurusan.

Dimana pun tempatnya, selama itu kongkrit dan wajar, saya akan berangkat, meski harus pergi merantau sendirian, seperti yang saya lakukan di Jakarta sampai akhir tahun 2020 lalu.

Mungkin ini terdengar agak sembrono, tapi sistem yang ada saat ini, memang memaksa seperti itu. Ada diskriminasi fisik, dan mental yang sudah terbudaya, bahkan sejak masa sekolah.

Celakanya, budaya negatif ini ternyata berlanjut sampai dunia kerja. Kalau profesinya seperti atlet, polisi atau tentara, tentu bisa dimaklumi, karena memang membutuhkan kondisi fisik sangat prima.

Memang, sesekali ada kesempatan magang, tapi peluang menjadi pekerja tetap masih tanda tanya besar. Jadi, jangan ditanya seberapa banyak jumlah kesempatan kerja yang datang. Peluang ini semakin sulit ditemukan, pada kesempatan kerja tetap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun