Entah sudah berapa kali kudengar kalimat klasik itu, sampai kadang aku merasa bosan.
Tapi, kalimat itu seperti membawaku ke pusaran memori nan rumit.
Ada beberapa kali momen, saat kalimat itu datang, dan membantuku bertindak. Ia selalu hadir, di lingkungan tempat semua orang ingin berbicara.
Entah di rumah, entah di tempat lain, lingkungan itu banyak kujumpai. Jujur saja, semua itu membuatku terlihat lemah dan payah. Di saat semua ingin tampil dan didengar, aku malah jadi pendengar.
Duduk manis seperti orang terhipnotis, kadang sampai berjam-jam. Aku memang bukan seorang psikolog, tapi aku sudah melakukannya.
Entah kenapa, diam yang kadang menyebalkan itu justru berbicara sangat banyak, tentang ego tanpa ujung, lengkap dengan berbagai bentuknya.
Ia memperlihatkan semua itu kepada manusia tanpa mimpi ini, dan banyak bercerita di sana. Dalam diam, diam benar-benar menjadi emas, karena ternyata memberi banyak hal berharga secara cuma-cuma.
Ini mungkin terdengar agak konyol, tapi itulah yang biasa terjadi. Diam mengajakku melihat sisi lain dari apa yang kudengar dan kulihat. Kadang, ia bahkan memberikan semuanya tanpa sisa, seolah aku bocah yang sedang kelaparan.
Awalnya aku sedikit kebingungan, sebelum akhirnya menyadari, diam adalah persiapan terbaik untuk berbicara. Supaya, pada saat harus berbicara nanti, aku bisa mengatakan semua yang perlu kukatakan, bahkan tanpa harus berbicara, karena kenyataan sudah lebih dulu menjelaskan dengan gamblang.
Aku memang hanya membiarkan semua berjalan begitu saja. Tak ada mimpi, ego super besar untuk jadi tanpa tanding, atau semacamnya. Para motivator pasti akan bangkrut andai saja semua orang di dunia ini sama persis sepertiku.