"Kau masih bisa lanjut, tapi gajimu akan dipotong, menimbang keadaan sekarang."
Mungkin, ini adalah kabar baik untuk orang yang sedang dalam tekanan. Tapi, itu malah membuatku berpikir sebaliknya.
Dipotong lagi? Yang benar saja!
Aku ingat, saat kami pertama kali membahas ini, kami langsung sepakat di satu angka. Tapi, di bulan berikutnya, angka itu berkurang, dengan pertimbangan ada penyesuaian akibat pagebluk.
Di bulan berikutnya, angka itu kembali berkurang cukup banyak buatku, hanya karena aku satu kali mengabarkan terlambat, saat ada acara penting di rumah. Pengurangan itu akan kembali datang, seandainya aku lanjut, dengan penalti yang siap menunggu jika aku kembali membuat pelanggaran.
Periode pagebluk ini pelan-pelan membuatku belajar, pemotongan gaji memang biasa, tapi, sekali diterima, itu akan jadi satu kebiasaan. Sama seperti kebohongan, satu pemotongan adalah awal dari pemotongan-pemotongan lainnya.
Gaji berkurang, tekanan kerja bisa bertambah. Sudah bisa ditebak. Cukup sekian.
Tanpa ragu, aku berkata,
"Terima kasih atas infonya bos. Tapi, setelah menimbang keadaan, dan juga omongan Anda, saya memutuskan untuk pamit. Sepertinya saya memang tidak cocok di sini."
Kata-kataku sukses membuat bos tercenung sejenak.
"Sebenarnya aku ingin membantumu, tapi sepertinya kita memang tidak cocok menjadi rekan kerja. Hanya cocok sebagai teman lama."