Tapi, pola pikir instan yang ada membuat semua jadi membingungkan. Mentang-mentang aku pernah bekerja di ibukota, aku dianggap bisa segalanya dan menyulap semua jadi emas dalam sekejap. Yang benar saja!
Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, dan apa yang dipahaminya soal ini. Tapi, status dalam pengawasan, yang membuatku berada di kursi panas ini sudah mempertegas seberapa parah kebingungan, dari situasi serba membingungkan ini.
Jika nanti aku dianggap gagal dan akhirnya harus pergi, aku rela pergi. Dengan syarat, aku bebas dari semua hal-hal terkait pekerjaan. Toh aku hanya dipandang sebagai seorang pecundang.
Bukankah ada begitu banyak orang hebat di luar sana?
Dear Diary,
Ini pengalaman pahit keduaku di Kota Gudeg, dalam posisi sebagai pekerja. Mungkin, ini alasan kenapa aku kadang masih kangen ibukota.
Benar kata orang, setiap kota punya porsinya sendiri: yang hebat dalam hal wisata, belum tentu baik dalam hal budaya kerja, meski yang punya budaya kerja bagus belum tentu punya lingkungan yang sehat.
Ini normal, sangat normal. Tak ada tempat yang benar-benar sempurna.
Jika nanti memang berakhir begini, aku tak akan dendam, karena memang keputusan ini diambil dengan pemahaman yang belum utuh, untuk hal serumit ini.
Andai masih dapat kesempatan jadi pekerja kantoran di Kota Pelajar ini, aku akan menjadikan ini pengalaman penting. Andai harus kembali pergi, aku hanya akan kembali, jika kesempatan itu wajar.