Setelah dibayangi rentetan hasil buruk dalam beberapa laga terakhir, Chelsea akhirnya mengumumkan perpisahan dengan pelatih Frank Lampard, Senin (25/1). Keputusan ini diambil, tak lama setelah Christian Pulisic dkk mengalahkan Luton Town 3-1 di Piala FA, Minggu (24/1).
Tentunya, ini bukan keputusan yang diharapkan seluruh pendukung Chelsea. Dengan statusnya sebagai legenda klub, perpisahan adalah opsi paling menyakitkan, tapi harus segera diambil.
Bukan karena alasan sentimentil, tapi murni karena alasan teknis. Benar, jika melihat performa tim belakangan ini, tak ada perbaikan yang cukup berarti.
Si Biru belakangan makin keteteran di Liga Inggris, dan tercecer di luar posisi empat besar. Padahal, Lamps sudah diberi keleluasaan untuk belanja pemain, dengan antara lain mendatangkan Timo Werner dan Kai Havertz, dua pemain tajam Bundesliga.
Tapi, yang terjadi malah performa tim anjlok. Tak seperti musim lalu, saat Chelski terkena embargo transfer pemain, mereka justru terlihat kacau, selagi sang legenda tampak kebingungan mencari cara menyatukan tim supaya solid.
Padahal, musim lalu pelatih berusia 42 tahun berhasil membawa Tammy Abraham dkk finis di posisi empat besar, plus mencapai final Piala FA, tanpa suntikan satupun pemain baru. Sebuah prestasi yang mendatangkan optimisme, tapi belakangan jadi awal bencana Lampard di Stamford Bridge.
Kalau mau dilihat lagi, kegagalan Lamps di kota London sebenarnya bukan kejutan. Dengan tim yang ada musim lalu, plus deretan pemain baru musim ini, dirinya terlihat cukup kesulitan dan kebingungan dalam meracik formula ideal.
Tak heran, performa klub milik Roman Abramovich musim ini cukup inkonsisten. Situasi ini sekaligus membuktikan, Lamps belum cukup berpengalaman dalam hal meracik tim yang diisi sederet pemain baru.
Masalah ini semakin lengkap, karena top skor sepanjang masa Si Biru menjalani proses peningkatan level karier yang cukup drastis. Dari yang awalnya menangani Derby di kasta kedua, lalu lompat ke Chelsea, tim yang tiap musimnya mematok target tinggi.
Mungkin ini terlihat keren. Tapi, Lamps jelas masih terlalu hijau untuk bisa mengatasi tekanan tinggi khas Liga Inggris, yang disesaki pelatih berpengalaman dan pemain berkualitas.
Apalagi, Chelsea bukan klub yang sabar pada pelatih. Hasilnya, sang legenda pun kena coret. Tanpa ampun, ia harus pergi sebagai pesakitan, dari tempat semasa bermain yang begitu memujanya bak pahlawan.