Rata-rata dari mereka adalah orang dengan jabatan, pengalaman, dan penghasilan lebih dari cukup. Tapi, mereka mau menerima bocah minim pengalaman dan bergaji pas-pasan ini dengan tangan terbuka.
Dari mereka aku banyak melihat, ibukota adalah tempat yang sangat realistis. Ini tak seperti mitos yang selama ini beredar.
Mereka pun bisa memahami, kenapa aku ingin kembali ke sana suatu hari nanti. Luar biasa.
Suasana agak berbeda kutemukan di kelompok kedua. Meski berakar dari budaya yang nyaris sama denganku, ada sedikit kejutan yang kurasakan.
Tak seperti kelompok pertama, kelompok kedua ini biasa menambahkan rutinitas lain yang biasanya tak pernah kuikuti. Bukan karena malas, tapi karena aku ingin memberi nafas buat diri sendiri, supaya tak tumbang lagi karena kelelahan.
Jujur saja, aku masih harus berusaha keras membuat tubuhku kuat menjalani rutinitas di sini. Apalagi, ada pagebluk yang masih belum reda.
Dengan intensitas kesibukan  cukup tinggi, ambil risiko dengan mengikuti itu secara rutin, hanya akan menggali kubur sendiri.
Jelas, aku hanya perlu memastikan tubuh dan hati tetap waras. Secara khusus, aku ingin mengobati luka di hati, yang terlihat parah, karena kepulangan ini masih menyisakan rasa sakit, yang butuh waktu untuk benar-benar sembuh.
Dari kedua kelompok ini, aku memang serasa punya keluarga yang hangat. Tapi, pada akhirnya aku tetap rindu datang langsung ke "rumah" itu, dan bernyanyi dengan penuh semangat seperti biasa, saat semua sudah berakhir, karena disanalah kata "pulang" layak tersemat, meski diri ini bukan siapa-siapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H