Dear Diary,
Aku belum begitu lama kembali ke sini. Tapi, aku masih punya satu kegiatan warisan sejak masa awal di ibukota: komunitas doa.
Meski dilakukan secara virtual sejak pagebluk datang, itu cukup menyenangkan, karena aku jadi punya kehidupan lain di hari kerja. Satu hal yang belakangan jadi barang langka sejak aku kembali.
Ada dua komunitas, yang aku ikuti. Satu adalah komunitas gereja berpusat di ibukota, satu lagi berasal dari gereja di Kota Bengawan, yang menjadi satu cabang dari gereja induk di Kota Pahlawan.
Keduanya sama-sama berawal dari ajakan teman, meski sama-sama serasa seperti di rumah sendiri, aku melihat rasa berbeda dari keduanya.
Rasa pertama datang dari kelompok di ibukota. Sejak pagebluk, mereka datang tiap dua minggu sekali, dengan pertimbangan, supaya tak ada rasa jenuh, karena di sana hal ini sudah jadi masalah di kebanyakan komunitas sejenis.
Meski intensitas kegiatannya tak terlalu tinggi, aku sangat respek kepada mereka, karena mereka membangun kesadaran sebagai fondasi ikatan. Mereka juga memberi cukup ruang untuk kehidupan pribadi masing-masing.
Tak semua harus diceritakan, karena kadang ada yang tak siap bercerita. Aku respek karena mereka mau memahami itu, sama baiknya seperti saat mereka sedang bercanda.
Saat ada yang tak hadir pun, mereka tak akan bertanya terlalu jauh, karena sungguh memahami keadaan.
Aku sendiri akan selamanya berterima kasih kepada mereka, karena mereka jadi satu dari sedikit pihak, yang banyak membantuku beradaptasi di ibukota. Saat pagebluk saja, mereka juga membantuku dalam banyak hal, mulai dari sesekali mengirimkan makan, sampai turut mencarikan kerja.
Entah apa jadinya kalau mereka tak ada. Itulah yang berkali-kali kukatakan kepada diri sendiri dan mereka. Kami sudah seperti keluarga, karena bisa berbagi rasa dan saling mendengarkan dengan sangat baik.