Judul di atas mungkin terdengar agak ekstrem. Tapi, inilah fenomena yang belakangan terjadi, bahkan makin menjadi di era pandemi seperti sekarang.
Disebut demikian, karena media sosial (medsos) belakangan terlihat menyimpang dari peran aslinya, yakni sebagai ruang bebas untuk berekspresi. Dalam artian menjadi diri sendiri.
Disadari atau tidak, medsos kerap "mendikte" orang, untuk mengikuti apa yang sedang tren. Tujuannya sederhana, demi mendapat atensi seluas mungkin, syukur-syukur mendapat cuan.
Masalahnya, ini membuat seseorang jadi terpenjara oleh tren, dan membuat mereka terobsesi mengikutinya. Meskipun, tren itu sebenarnya kurang baik.
Misalnya, jika orang-orang posting foto sedang berlibur, mereka ingin berlibur juga. Padahal, kondisi belum kondusif.
Andai mereka benar-benar kreatif, mereka tak akan gampang mengikuti tren. Malah, merekalah yang jadi trend setter.
Contoh lainnya, jika seseorang posting foto pernikahan dan punya anak, orang-orang akan mendikte untuk segera menyusul. Padahal, urusannya tidak sesimpel itu, dan jelas bukan urusan mereka. Lagipula, dua fase itu bukan prestasi, tapi tanggung jawab.
Di sini, medsos sudah menjadi toxic, dan semakin toxic, karena ia jadi jendela banyak orang, yang mobilitasnya masih terbatas karena imbas pandemi.
Ada perdebatan di sana-sini, plus drama-drama receh, yang sebenarnya tak penting diikuti. Tapi, disinilah medsos leluasa mendikte banyak orang, dan memenjarakan kebebasan diri mereka.
Ada juga yang rutin menjadi "stalker" alias penguntit, hanya karena ingin bisa rutin mengawasi dari kejauhan. Seharusnya, mereka belajar jadi intel saja, bukan malah bermain medsos.
Ini jelas bukan pertanda baik, karena seharusnya manusia-lah yang mendikte medsos, bukan sebaliknya. Situasi makin terlihat konyol, karena medsos sejatinya adalah produk ciptaan manusia.