Di sini, semua hal itu nyaris hilang total. Nyaris tak ada ruang cukup untuk pengembangan diri dan istirahat. Kalau tanggal merah juga ditabrak, aku rasa ini tak mengejutkan.
Di tempat wisata yang katanya sangat berbudaya ini, bekerja hanya kenikmatan milik orang kaya. Budaya dijual dan ditampilkan bersama romantisasi, tapi lenyap saat seharusnya diterapkan di kehidupan nyata. Keindahan itu bukan milik semua Kenyamanan hampir jadi mitos, karena jeda nyaris tak ada. Liburan? Lupakan!
Untuk saat ini, aku memang akan bertanggung jawab, tapi perasaan memang tak bisa bohong. Aku rindu kembali ke sana, karena di sana aku benar-benar menemukan rasa utuh sebagai seorang manusia.
Tapi, kalau kesempatan itu ada, aku berharap itu adalah satu hal yang jelas dan pasti. Di umurku sekarang, melompat dari magang ke magang bukan pilihan. Aku terlalu tua untuk itu.
Makanya, aku heran, kenapa orang berkebutuhan khusus sering jadi objek magang. Padahal, mereka juga manusia yang berhak punya pekerjaan tetap.
Aku sadar, rasa sakit ini takkan sembuh hanya dalam semalam. Semoga ini bisa kulewati, sekalipun harus menghadapi semua sendirian lagi. Mungkin, beginilah rasanya jadi seorang Maradona di lapangan hijau. Serba sendirian.
Tapi, jika sendirian adalah jalanku menemukan teman hidup, semoga aku bisa menyadari dan bersyukur untuk semua ini, saat dia akhirnya benar-benar datang.
Terima kasih sudah mau menampung isi hatiku di sini. Aku tak akan kaget kalau nanti bertemu denganmu lagi, karena aku tak tahu harus bercerita ke siapa, dalam posisiku sebagai seorang manusia. Berdoa memang sangat penting, tapi bebas berbicara sebagai seorang manusia juga tak kalah penting.