Judul di atas adalah satu pertanyaan reflektif paling relevan, dari tahun 2020. Tahun yang jika meminjam istilah adik saya, adalah tahun paling "AFK", karena kebanyakan orang lebih banyak dipaksa diam di rumah nyaris sepanjang tahun.
Saya sendiri mengalami kesulitan tepat sejak tahun baru datang. Sekembalinya dari Yogyakarta jelang malam pergantian tahun hujan besar menyambut, tak lama setelah kereta tiba di Stasiun Gambir.
Hujan ini mengguyur sepanjang malam. Lumayan, bisa irit AC. Tapi, esok paginya, ada banjir besar yang mengepung ibukota.
Sebenarnya, daerah indekos saya di daerah Karet Belakang tidak kebanjiran. Tapi, karena daerah sekitarnya banjir, sisa libur akhir tahun saya akhirnya dihabiskan dengan hibernasi di kamar kost tersayang.
Setelahnya,ada intensitas hujan cukup tinggi selama beberapa pekan, khususnya pada akhir pekan. Saya jadi heran, sejak kapan langit jadi sobat ambyar?
Oke, situasi memang kembali normal, segera setelah puncak musim penghujan lewat. Saya bisa kembali keluyuran naik ojol, menengok saudara di akhir pekan seperti biasa. Sayang, itu ternyata cuma sebentar.
Hujan dan banjir itu hanya "gerbang neraka" menuju neraka sesungguhnya bernama virus Corona. Virus yang bermula dari Wuhan (China) ini benar-benar menyusahkan, karena punya dampak lanjutan berjuta rasanya, seperti jatuh cinta.
Ada PSBB berjilid-jilid, seperti kue lapis legit. Ada juga pemotongan gaji seperti minyak goreng, dua kali penyaringan.
Dalam keseharian, imbas pandemi memang sukses memaksa banyak orang hidup seperti Patrick Star si bintang gendut, di rumah batu. Menghabiskan waktu sepanjang hari di rumah selama berbulan-bulan, waktu yang lebih dari cukup untuk menambah personel di kartu keluarga.
Mungkin, ini salah satu alasan mengapa angka kelahiran bayi di masa pandemi cukup tinggi. Bukan kejutan juga kalau banyak bocah punya nama bernuansa Corona, buat kenang-kenangan.
Jika ada bagian paling menyebalkan yang harus saya sebut di masa pandemi, khususnya sepanjang tahun ini, bagian itu adalah berjubelnya informasi soal pandemi. Mulai dari yang penting, sampai tidak penting.
Bukannya saya tak peduli dengan keadaan, tapi demi menjaga kewarasan. Mengikuti angka jumlah kasus baru Corona, yang seperti angka jumlah subscribers kanal YouTube hanya akan membuat pikiran kacau.
Belum lagi, jika ada orang-orang yang tetap bandel pergi piknik meski sedang pandemi, layaknya di sebuah negara berbunga. Oke, semua orang bosan di rumah terus, tapi siapa yang mau membawa pulang oleh-oleh virus Corona?
Kalau kita punya nyawa cadangan berjilid-jilid, mungkin tak masalah. Kalau sisanya masih banyak, dan bisa diperjualbelikan, pasti kita akan langsung kaya. Pensiun sudah.
O ya, pada masa pandemi ini, berita, khususnya soal politik, menjadi satu hal paling berisik. Otomatis, saya memilih bodo amat, secara gaji sudah kena sunat, dua kali pula.
Kalau itu si Otong, mungkin dia sekarang sudah jadi kerupuk kulit, saking seringnya kena sunat.
Setelah berselancar dalam badai krisis akibat imbas pandemi, saya juga mengalami langsung, betapa rumitnya situasi.
Ada PHK di mana-mana, dan lowongan kerja berseliweran seperti lalat dan ikan asin, tapi lowongan itu muncul dan hilang sesuka hati, karena ada berbagai penyesuaian kebijakan rekrutmen.
Mungkin, mereka sedang ingin main "ghosting", karena tahu para pencari kerjanya cantik dan ganteng. Sayang, kami lebih doyan makan wafer daripada dibuat baper oleh perusahaan.
Ah sudahlah, daripada menunggu Godot, saya lebih baik mudik. Jujur saja, dalam situasi begini, asupan segudang informasi hanya bikin mual, tapi perut tetap lapar.
Tahun ini sudah terlalu gila untuk dijalani. Jadi, Indonesia butuh ketawa barang sebentar, sebelum melangkah lagi di tahun baru.
Persetan dengan pertanyaan soal karir, jodoh, dan berapa jumlah skill baru yang didapat selama tahun ini. Bisa melewatinya dengan selamat saja sudah syukur.
Untuk tahun depan, tidak ada resolusi khusus, karena resolusi adalah produk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Bisa bertahan lagi saja sudah bagus, memperbaiki kerusakan-kerusakan karena imbas pandemi, bahkan mencorong sepanjang tahun itu bonus.
Selebihnya? Terserah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H