Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilaporkan

26 Desember 2020   18:40 Diperbarui: 26 Desember 2020   18:41 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas terinspirasi dari quote penutup film Warkop DKI "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang". Dari konteks waktu dan permasalahannya, ada pendekatan berbeda yang digunakan, pada satu kegiatan yang disebut "Tertawa".

Maklum, Warkop DKI bersemi di era Orde Baru, sebuah era dengan larangan di sana-sini. Tertawa memang masih diperbolehkan, sebelum dilarang, khususnya jika lelucon yang disajikan dinilai "kelewat batas" oleh penguasa. Salah-salah, bisa kena ciduk.

Pada titik ekstrem, "tertawa" di masa Orde Baru bisa saja membuat seseorang "tinggal nama". Sesuatu yang mungkin kelewat horor untuk dibayangkan di era kiwari.

Di era kekinian, tertawa bukan lagi bersinggungan dengan "larangan", tapi "laporan". Tujuan akhirnya memang hotel prodeo juga, tapi ini lebih bersifat personal atau kelompok kecil, bukan "penguasa" seperti dulu.

Benar, di era reformasi, pemerintah memang tak seseram dulu dalam menyikapi urusan satu ini. Keseraman itu malah ditunjukkan kelompok atau orang tertentu.

Entah karena kotak tertawanya sedang dalam proses main tenis atau memang hilang digondol tikus, seperti nasib sembako bansos di dapur, sebuah candaan kadang bisa jadi bahan laporan polisi.

Minimal, jadi bahan debat kusir semalam suntuk, seperti gelaran wayang kulit. Alhasil, pak dalang bisa liburan sebentar bareng Upin dan Ipin. Betul betul betul.

Kalau candaan "bermasalah" itu ada di media sosial, perang komentar atau bully memang sudah jadi pemandangan biasa. Jejak digital itu kejam, jenderal!

Malah, ini jadi satu warna menarik di dunia maya kita, karena komentar warganet kadang jauh lebih menarik dari postingan aslinya.

Di sini, saya menemukan ada banyak komentator berbakat di negara berbunga ini. Meski begitu, secara aneh bin ajaib, profesi komentator di televisi atau media mainstream masih relatif sepi peminat.

Mungkin, mereka memang punya ilmu kesaktian ilmu teleportasi, atau meminjam pintu kemana saja dari kantong ajaib Doraemon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun