"Buat apa kamu ke ibukota lagi? Biaya mahal, harus berhemat habis-habisan, macet, banjir, sumpek. Banyak orang di sana yang ingin ke daerah."
Bak rentetan pukulan jab, hook, dan swing, kata-kata itu kudengar langsung dari orang-orang terdekat. Benar, aku memang punya rencana kembali ke sana suatu saat nanti, kala keadaan sudah kembali normal, dan semua yang kukerjakan sudah beres. Semua itu sudah disetujui bosku di sini.
Sebagai teman lama, bos memang tahu seperti apa masa laluku, dan kebetulan juga pernah merantau ke berbagai tempat, termasuk ibukota. Ia sudah mengalami dan tahu persis, mengapa orang sepertiku justru menikmati kegilaan di ibukota, alih-alih terintimidasi dengannya.
Jujur saja, itu adalah tempat pertama, yang bisa menerimaku apa adanya, dan membiarkanku membaur dengan lepas. Satu hal yang tak benar-benar kutemukan di Kota Klasik, yang kadang melihat tubuh.
Sekembalinya ke Kota Klasik, aku memang mendapat pekerjaan, yang akan dimulai segera setelah tahun baru berlalu. Aku memilih jeda sejenak sebelum memulainya, karena setahun ini sudah sangat melelahkan.
Meski bukan liburan mewah, aku benar-benar menikmatinya. Setidaknya, ada waktu bebas, tak memikirkan apapun, tanpa harus pergi piknik kemana-mana.
Tapi, di waktu inilah aku menyadari, ada belenggu yang ingin mengikat, meski saat aku diminta pulang, tak ada yang keberatan andai aku kembali ke sana suatu saat nanti. Ini membuatku kesal.
Aku sudah membuktikan bisa hidup di ibukota, melewati kesulitan demi kesulitan nyaris seorang diri, tanpa pernah merengek minta kiriman saat kesulitan, termasuk saat pagebluk menyerang.
Ada keluarga besar, yang benar-benar bisa memaklumi situasiku, dan tak pernah menuntut untuk selalu datang. Mereka tahu persis, seperti apa situasi di lapangan, dan itu menjadi satu hal paling melegakan buatku.
Aku memang melihat ada drama di sana-sini, tapi aku hanya diminta duduk manis dan menonton saja. Aku menurut, karena itu memang bukan porsiku.
Jadi, saat aku kembali, ada pergulatan dalam hatiku, karena harus kembali didikte, meski sedang dalam masa istirahat. Apa-apaan ini?
Saat dinasehati tentang berbagai hal terkait urusan teknis, aku benar-benar merasa linglung, karena memang belum waktunya menerima. Rasanya seperti menjadi anak TK yang dipaksa belajar fisika. Mengerikan.
Aku memang bersyukur, karena tantangan baru sudah menanti. Sebelum memulainya, aku lebih memilih menyiapkan diri sambil bertanya ke Atas, karena tuntunan dari Atas terbukti selalu menyelamatkan di berbagai situasi sulit.
Aku sadar, akan ada begitu banyak hal diluar kendali, yang juga harus bisa ditangani dengan tepat. Bukan hanya dengan otak cerdas, tapi juga tuntunan dari Atas.
 Soal preferensi, mungkin pilihanku pada ibukota sangat terbalik dengan kebanyakan orang. Tapi, ini bukan karena gengsi. Ini soal kebahagiaan.
Dengan kondisiku, bisa diterima tanpa melihat fisik adalah satu kebahagiaan. Sekalipun harganya sangat mahal, dan harus pergi jauh, kebahagiaan tetap layak dikejar.
Ini bukan dugem atau sejenisnya. Jadi, tak seharusnya dilarang, karena memang bukan pelanggaran hukum.
Aku sudah terlanjur kenyang dengan penolakan karena alasan fisik, dan penerimaan adalah obat manjur. Lebih baik berada di tempat yang keras tapi jujur, daripada tempat halus tapi penuh muslihat. Ditusuk dari depan selalu jauh lebih terhormat, ketimbang ditusuk dari belakang.
Untuk saat ini, aku akan bersiap dan menjalankan semua tugas sampai tuntas. Jika kesempatan itu kelak datang lagi, aku akan menyambutnya dengan senang hati.
Karena aku tahu, urusanku di sana masih belum selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H