Ternyata, itulah yang terjadi lima tahun kemudian. Saat mereka menikah, aku masih belum sembuh dari cedera kaki. Jangankan berjalan, berdiri saja tak bisa.
Sepasang ironi ini membuatku sampai mendapatkan komentar sarkastik dari adikku,
"Kamu bisa mempertemukan orang lain dengan jodohnya, tapi kesulitan mencari jodohmu sendiri."
Ya, itu semua karena jebakan Friend Zone. Laki-laki sepertiku memang masih bebas memilih, tapi wanitalah yang pada akhirnya menentukan.
Mereka kadang bisa begitu berkuasa, karena bisa membuat pria menjadi supir pribadi bahkan permen karet. Apalah dayaku yang jalan tegap saja tak becus?
Aku memang bukan anak orang kaya, bukan juga orang dengan embel-embel jabatan tinggi. Aku terlanjur lekat dengan diskriminasi karena tubuh ini berbeda.
Tapi, seharusnya aku tetap berhak mendapat kepastian. Diterima atau ditolak, ya atau tidak. Sederhana saja. Lagipula, mereka manusia (yang seharusnya masih) berperasaan.
Kecuali, jika mereka adalah perusahaan di masa pagebluk, yang bisa dengan enaknya membongkar pasang iklan lowongan pekerjaan tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Aku tak takut dengan penolakan, jika itu memang keputusannya. Aku hanya butuh kepastian, supaya bisa segera melangkah, dan jika ada luka yang timbul, aku punya waktu untuk mengobati sampai tuntas.
Pada akhirnya, seiring berjalannya waktu, aku menyadari, "Friendzone" adalah salah satu cara kehidupan menjaga kita. Ia menjadi filter yang akan memilah siapa yang baik dan buruk, atau yang layak dipertahankan dan dilupakan.
Berkatnya, aku bisa menikmati masa perantauan di tengah pagebluk, lengkap dengan warna-warninya. Aku tak perlu risau lagi melihat teman-teman sebaya menikah, punya anak, bahkan menambah anak secara serentak. Itu urusan mereka, bukan urusanku.