"Kita kan teman."
Itulah kalimat paling melegakan yang bisa kudengar, tiap kali ada yang datang membantu di saat sulit. Walaupun tak pernah terucap dari mulut mereka, sikap mereka saat menolong sudah dengan tegas mengatakan itu.
Tapi, jika kalimat itu diucapkan oleh manusia sewenang-wenang, petakalah yang datang. Gaji disunat sebanyak mungkin, keputusan seenaknya bisa datang kapan saja, "harga teman" jadi ajang pembantaian terselubung, dan entah apa lagi.
Memang menyakitkan, tapi kalau ini adalah bagian dari penolakan si dia, rasanya akan lebih menyakitkan. Apalagi, kalau mereka terlanjur punya rasa hormat kelewat besar, atas apa yang kucapai dan kulakukan dengan kondisi fisik seadanya.
"Mungkin, mereka hanya kagum sekaligus kasihan dengan kondisimu. Hati-hati saja. Itu hal biasa."
Begitulah saran teman lamaku, saat aku menceritakan tragedi hubunganku dengan wanita. Benar, aku belum pernah berhasil mencetak gol ke hati seorangpun sejak masih remaja.
Aku selalu kena jebakan offside dalam bentuk "Friendzone". Posisi ini memang membuat kami tetap punya hubungan baik, bahkan ada yang awet sampai bertahun-tahun lamanya.
Meskipun, ada juga sebagian orang yang menjadikan "Friendzone" sebagai kesempatan untuk menghapusku secara perlahan. Inilah cara mereka membunuhku, bukan secara fisik, tapi secara eksistensi.
Hal lain yang juga sempat kualami beberapa kali adalah, aku keduluan saat hendak mendekati, dan mundur teratur karena yang mendahuluiku adalah teman yang berasal dari keluarga kaya.
Ironisnya, aku pernah membantu temanku bertemu jodohnya. Aku ingat, saat mereka baru mulai berpacaran, aku dengan santainya berkata,
"Nanti, kalau kalian lanjut, bahkan sampai ke pelaminan, tolong aku jangan diundang. Aku tak ingin merepotkan."