Jadi, saya tetap harus menyiasatinya dengan cermat. Awalnya, ini memang bisa disiasati, karena ada 8 jam kerja dalam sehari.
Meski hari kerjanya 7 hari dalam seminggu, kerjasama yang baik di antara rekan kerja membuat saya tetap bisa ke gereja tiap hari Minggu. Berkat itu juga, saya bisa pulang ke rumah 2-3 kali tiap pekan.
Tapi, situasi menjadi kurang baik, saat seorang kolega mengundurkan diri, dan penggantinya tak segera datang. Ini membuat jam kerja saya naik menjadi 12 jam dalam sehari, dengan 4 jam diantaranya mendapat upah lembur.
Memang, lewat sedikit negosiasi dengan atasan, saya masih bisa ke gereja tiap hari Minggu, dan pulang ke rumah tiap akhir pekan. Selain untuk beribadah, kesempatan ini biasa saya gunakan untuk mengambil pakaian ganti.
Ternyata, ini menjadi beban teramat berat buat fisik saya. Apalagi, setahun sebelumnya, saat sedang mulai membuat skripsi, saya sempat diopname beberapa hari di rumah sakit, karena terkena demam berdarah.
Akibat penyakit ini, saya diwanti-wanti dokter untuk selalu menjaga kondisi. Jangan sampai terlalu lelah. Tapi, karena kewajiban kerja tak bisa ditinggalkan, saya terpaksa ambil risiko.
Pada akhirnya, saya memutuskan resign, karena kondisi tubuh mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan. Saya memutuskan berhenti lebih dulu, sebelum tubuh ini memberhentikan saya bekerja.
Benar saja, sehari setelah hari kerja terakhir saya di sana, saya tumbang akibat demam cukup parah selama tiga hari.
Pengalaman ini jelas kurang mengenakkan bagi saya, tapi tetap jadi pelajaran berharga. Upah lembur memang bisa membantu menambah pemasukan, tapi, upah itu tak ada artinya, jika tubuh harus tumbang karenanya.
Jika sistem upah kerja per jam benar-benar diterapkan, kebijakan yang ada seharusnya lebih proporsional. Salah satunya, perlakuan sesuai, antara mereka yang normal secara fisik, dan berkebutuhan khusus.
Business is business, tapi jangan sampai, para pemberi kerja memanen untung di saat pekerja kelak justru memanen penyakit akibat beban kerja kelewat berat.