"Hidup adalah persaingan."
Itulah pesan yang kudapat dari berbagai momen yang kulihat belakangan ini. Ada banyak orang saling sikut untuk jadi "lebih tinggi" dari sesamanya.
Gilanya, ini terjadi di berbagai bidang, dan merambah sampai ke lingkaran kekerabatan. Bungkusnya? Perhatian.
Saat masih bocah dulu, aku merasa senang, tiap kali bertemu kerabat. Bisa bermain dan bercanda terasa menyenangkan. Di masa sekolah, pertanyaan "kelas berapa?", terasa mudah untuk dijawab.
Begitu juga saat menjadi mahasiswa, pertanyaan "semester berapa?", masih bisa kujawab dengan santai. Memang, semua masih aman terkendali, meski aku sebenarnya harus berjibaku habis-habisan. Setidaknya, kata-kataku tak membohongi orang lain.
Tapi, setelah gelar sarjana didapat, semua pertanyaan yang muncul terasa menjijikkan, karena mulai memberikan perbandingan tak sehat. Bukan cuma itu, informasi personal bisa dikorek dan dibandingkan dengan brutalnya.
Ada yang membandingkan status pekerjaan, jumlah gaji, status perkawinan, sampai jumlah anak.
Rasanya, ini satu tindakan terbodoh yang mungkin bisa dilakukan manusia. Para pembanding ini bukan orang yang akan memberi pekerjaan, memberi jodoh, anak, atau tambahan gaji.
Mereka bisa dengan enaknya bicara, seolah sudah (dan masih) sangat sukses. Padahal, mereka sedang ada dalam posisi "pernah" sukses, dan harus kembali berjuang dari bawah.
Buat apa mereka bicara?
Awalnya, aku memang sempat merasa jengkel, tapi, berkat tuntutan waktu, kejengkelan ini berubah jadi kegelian. Ternyata, semua perbandingan ini hanya sebuah topeng.