Pada masa pandemi seperti sekarang, pemerintah kembali memicu kegaduhan, dengan membuat satu kebijakan kontradiktif, setelah menunda penyelenggaraan Pilkades, tapi tetap akan mengadakan Pilkada pada bulan Desember mendatang.
Jika meminjam istilah ABG, tentunya kita bisa langsung menyimpulkan, pemerintah "tidak peka", karena memilih untuk mendahulukan kepentingan politik dibandingkan keselamatan bersama.
Walaupun ada "protokol kesehatan" (atau apapun sebutannya), mengadakan Pilkada pada saat ini adalah keputusan ceroboh. Acara arisan kampung dan kerja di kantor saja bisa jadi klaster penularan virus Corona, apalagi Pilkada.
Bukan apa-apa, tingkat penularan virus Corona di Indonesia masih relatif tinggi. Ditambah lagi, sebagian masyarakat kita masih ada saja yang suka membandel, belum ada budaya tertib yang cukup kuat.
Kalau aturannya tegas saja masih banyak yang dilanggar, apalagi ada celah kelonggaran seperti itu. Virus Corona akan tersenyum melihat ini.
Kita tentu mafhum, bagaimana kebiasaan saat Pilkada, pasti ada keramaian, ada kumpulan massa, ada konvoi. Kalaupun ada protokol kesehatan atau apapun namanya, selama mindset nya masih "peraturan dibuat untuk dilanggar", sama saja bohong.
Bagaimana jika itu jadi klaster Corona?
Bagaimana jika terjadi lonjakan kasus penderita baru virus Corona?
Oke, untuk saat ini, memang ada alternatif lain dalam wujud kampanye virtual. Ospek saja bisa virtual, kenapa kampanye tidak?
Tapi, yang jadi masalah adalah, tidak semua daerah punya sinyal koneksi internet yang baik. Masih banyak juga orang di negeri ini, yang jangankan punya gadget, cari makan sehari-hari saja sudah setengah mati.
Belum lagi, jika ternyata ada kontestan Pilkada yang gaptek. Bukannya mempermudah, teknologi malah akan mempersulit. Jadi, dalam situasi seperti sekarang, Pilkada bukan sesuatu yang harus disegerakan, karena seharusnya bisa diselenggarakan lain waktu.
Akan keterlaluan, jika ternyata pemerintah masih bersikukuh ingin mengadakan Pilkada dalam situasi seperti ini. Apalagi, jika masyarakat  yang disalahkan, padahal mereka hanya mengikuti contoh dari atas, seperti kata pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari".