"Ayo kita bertemu di mal pusat kota. Sekalian cari angin."
Itulah pesan dari bos yang kuterima di libur akhir pekan panjang.
"Tumben, ada apa?", Pikirku
Jujur saja, alasan itu membuatku heran. Dalam masa pagebluk seperti sekarang, kenapa malah memaksakan diri untuk bertemu tempat umum?
Tak sadarkah dia, kalau kota ini adalah daerah zona hitam? Mengapa ia tak memanfaatkan kemajuan teknologi?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepalaku, tapi aku tetap berangkat pada hari yang ditentukan. Aku rela membayar lebih, naik taksi dengan perlindungan ekstra dan masker, sambil merapal Doa Bapa Kami dalam hati, setibanya di mal pusat kota.
Aku sadar, semua kemungkinan bisa terjadi, apalagi dengan tubuh ringkih ini. Saat kami bertemu di sebuah restoran, aku melihat bekas cap seperti stempel merah di lehernya. Rupanya, ia sedang masuk angin dan baru saja mengobatinya di pusat pengobatan alternatif, tak jauh dari pusat kota.
"Silakan pilih menunya.", ajak bos sambil menyodorkan buku menu. Harganya? Ah sudahlah!
"Ada apa bos?", Tanyaku. Kupilah menu sambil menahan lapar yang mulai menggedor perut.
"Begini, situasi perusahaan sedang kritis. Pendapatan memang sedang mulai naik, tapi beban utang gaji dan biaya operasional kian membengkak.", Buka si bos dengan raut wajah gelisah.Â
Ia terdiam cukup lama.