Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gara-gara Klepon

23 Juli 2020   22:59 Diperbarui: 23 Juli 2020   22:48 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klepon (Tribunnews.com)

Dalam beberapa hari terakhir, unggahan tentang klepon yang dinilai "tidak Islami" viral di media sosial. Jelas, sasaran utama unggahan ini adalah umat Islam, yang secara persentase jumlah merupakan "kaum mayoritas" di negeri ini.

Sebagai seorang non-muslim, awalnya saya merasa "bodo amat", karena ini sama sekali tak berkaitan dengan keyakinan yang saya anut. Toh, jajanan pasar satu ini memang enak rasanya. Soal "Islami" atau tidak, itu sepenuhnya urusan keyakinan dan kesadaran saudara-saudara dari umat Muslim.

Tapi, setelah melihat lagi, ada satu keprihatinan yang muncul. Keprihatinan itu berupa sebuah keterkejutan, karena ini seolah menjadi  sebuah potret, betapa berbahayanya efek konten sensitif (sekalipun itu hoaks terkait hal remeh) di negara kita. Entah sudah berapa banyak kasus sejenis terjadi, dan ternyata masih saja terulang. Celakanya, masalah ini bisa saja terjadi di kalangan lintas agama.

Peluang itu cukup terbuka, karena membaca masih belum jadi budaya. Oke, sebagian besar masyarakat kita memang sudah melek teknologi, tapi level kualitasnya masih tertinggal cukup jauh dari kuantitas penggunaannya.

Mirisnya lagi, ketimpangan ini juga membuat gap antara bangsa kita dan bangsa lain terlihat, khususnya di masa pandemi seperti sekarang. Sebagai contoh, saat negara lain sedang sibuk berdisiplin diri, dan mempersiapkan hidup setelah pandemi COVID-19, kita malah masih sibuk membahas hal remeh.

Benar, teknologi yang digunakan kurang lebih sama, tapi cara memanfaatkannya sama sekali berbeda, begitu juga dengan cara berpikirnya. Bahkan, kata-kata bisa meluncur begitu saja, tanpa perlu melihat dan membaca, apalagi memahami konteks secara utuh. Bisa dibilang, kegaduhan yang ada saat ini adalah bukti betapa berbahayanya jika mata dan pikiran kita berpindah ke ujung jari barang sejenak.

Di sisi lain, karakter reaksional yang biasa muncul akibat hal-hal remeh seperti ini seolah menegaskan, betapa mudahnya kita bereaksi, atas sesuatu yang tak substansial. Sebagai sebuah bangsa, ini jelas indikasi kurang baik, karena kita terkesan mudah diadu domba.

Padahal, sejarah sudah mencatat, karakter negatif inilah yang membuat negara kita lama dijajah Belanda. Negara berukuran jauh lebih kecil dari Nusantara ini bisa lama berkuasa, karena mereka bbisa memanfaatkan karakter reaksional ini, lewat politik adu domba. Inilah satu realita kurang mengenakkan, yang pasti tak ingin kita alami lagi.

Jelas, sebagai sebuah bangsa yang merdeka, penting bagi kita semua, untuk tetap berkepala dingin. Dalam situasi prihatin seperti sekarang, akan lebih penting bagi kita, untuk fokus memperbaiki semua masalah besar akibat pandemi Corona, daripada terlalu sibuk membahas klepon.

Akan memalukan jika masalah pelik di depan mata, justru terabaikan oleh perkara yang sebenarnya remeh. Masa iya, jajanan pasar lebih penting daripada keselamatan bersama?

Sebagai sebuah bangsa yang besar, kita harus bisa membuktikan kebesaran itu benar adanya. Jangan sampai kebesaran itu hanya  bisa dilihat dari kekayaan alam, luas  wilayah, atau jumlah penduduknya, tapi juga dilihat dari kekayaan dan keluhuran budaya, serta kearifan manusianya.

Bisa?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun