Akhirnya, berkat bantuan seorang teman lama, saya bisa merealisasikan rencana ke psikolog. Meski harus mengambil cuti, dan menempuh perjalanan cukup jauh ke satu sudut Jakarta, saya bersyukur, karena ini menjadi satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil.
Berkat pengalaman ini, selain membuang semua beban sampai tuntas, saya semakin paham harus bagaimana setelah ini. Satu hal yang membuat saya sangat bersyukur adalah, satu kebutuhan dasar saya sebagai seorang manusia, yakni untuk berbicara dan didengar langsung secara personal sampai tuntas, akhirnya bisa terpenuhi.
Di sini, saya mendapati, menjadi seorang "pendengar" memang baik, tapi kurang baik jika berlebihan. Semua tetap ada batasnya, karena akan ada saatnya si "pendengar" pun ingin "didengar".
Pada akhirnya, pengalaman saya ini membuktikan, persepsi kurang baik, tentang "berkunjung ke psikolog", dan sifat "tabu" untuk menceritakan pengalaman ini secara terbuka, hanya sebuah mitos salah kaprah yang menyesatkan. Alih-alih menganggapnya sebagai sebuah "tabu", akan lebih baik jika ini dilihat sebagai suatu "pengalaman berharga".
Kenapa? Karena, selain membantu kita menghadapi masalah psikologis dan memenuhi kebutuhan dasar untuk didengar, ini adalah satu media baik untuk mengenal siapa diri kita.
Jika sudah mengenal siapa diri kita, tak sulit untuk terbiasa jujur kepada diri sendiri. Dari sinilah, kita akan terbiasa jujur kepada orang lain. Karena, seorang yang mampu jujur kepada orang lain, adalah orang yang sudah mampu, untuk terbiasa bersikap jujur kepada dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H