Menyusul imbas pandemi COVID-19, banyak pekerja yang terpaksa masih harus bekerja di rumah, setidaknya untuk memastikan diri tetap "survive" dan aman, sampai angka gaji normal kembali seperti semula. Di sini, saya menjadi salah satunya.
Kalaupun harus bepergian atau ada pertemuan, kegiatan itu hanya akan dilakukan, jika memang sangat penting. Kebetulan, momen itu saya alami pada hari Selasa (16/6).
Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, saya pergi keluar rumah. Kebetulan, memang ada acara kantor, dan baik bos maupun atasan saya sama-sama mengharuskan saya untuk ikut berpartisipasi.
Acara itu adalah kunjungan ke Workshop Precious One di daerah Meruya, Jakarta Barat. Sebagai informasi, Precious One merupakan satu unit usaha di bidang industri kreatif, yang berdiri sejak tahun 2004. Mayoritas pekerjanya merupakan penyandang disabilitas, mulai dari tunarungu, tunadaksa, down syndrome dan lain-lain.
Saat diajak melihat-lihat seluruh kegiatan di perusahaan tersebut oleh Ibu Ratnawati, sang pendiri perusahaan, saya memutuskan untuk hanya mengamati kegiatan di lantai bawah, sementara bos dan kolega saya turut mengamati kegiatan di lantai atas. Ada hal yang cukup menggoda di pikiran saya, sebelum akhirnya tertuang di tulisan ini.
Memang, saya datang ke sana karena ada urusan pekerjaan. Hanya saja, apa yang saya tulis di sini adalah godaan yang datang, dari apa yang saya lihat di Workshop Precious One. Meskipun, kegiatan operasional di sana masih belum sepenuhnya normal, akibat imbas pandemi COVID-19.
Godaan itu datang, karena apa yang saya lihat di sini benar-benar melawan paradigma di dunia kerja negara kita, khususnya soal penyandang disabilitas. Dimana, karena keadaannya, penyandang disabilitas kerap dianggap sebagai sebuah "beban", karena tak bisa diberdayakan dengan cara seperti orang biasa.
Kebetulan, sebagai seorang penyandang disabilitas, saya tidak asing dengan situasi ini. Tapi, apa yang saya lihat di Workshop Precious One benar-benar menarik perhatian saya.
Dalam pandangan saya, orang-orang yang memberdayakan para penyandang disabilitas ini, adalah orang yang memahami betul soal disabilitas. Mereka tak melihat disabilitas sebagai "sesuatu yang menimbulkan rasa tidak nyaman untuk dilihat", tapi "sesuatu yang dimaklumi dan dipahami sebagai bentuk lain sebuah kenormalan".
Terbukti, saat pertama kali melihat tampilan bentuk fisik saya, mereka langsung tahu, kalau saya adalah seorang penderita "celebral palsy". Penyakit kelainan syaraf motorik bawaan ini, memang sudah saya derita sejak lahir.
Dari pemahaman dasar yang sudah mereka punya soal penyandang disabilitas, Ibu Ratnawati dan timnya melihat betul, apa yang bisa diberdayakan secara maksimal, tanpa mengeksploitasi sisi lemah mereka sebagai objek penarik rasa iba. Sebaliknya, sisi lemah ini dijadikan kunci, untuk menemukan kelebihan yang bisa dimaksimalkan.