Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Semangat

15 Juni 2020   01:11 Diperbarui: 15 Juni 2020   01:16 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas.com)

"Ini semua kita lakukan demi kamu. Kamu harus punya semangat."

Itulah alasan yang selalu kudengar, setiap kali aku bertanya, "Kenapa kalian pakai cara ini lagi?", setiap kali mengajakku pergi ke tempat para penyandang disabilitas, para "saudara senasib" ku.

Cara ini belakangan mulai mereka coba, karena aku menolak mentah-mentah metode motivasi ala Mario Teguh, atau membaca buku cerita para tokoh penyandang disabilitas yang mendunia itu. Jangankan membaca, melihat sampulnya pun enggan.

Sebenarnya, aku sudah pernah menegur keras, lebih tepatnya memarahi mereka soal ini,

"Apapun alasannya, cara ini tidak pantas. Kami memang punya "cacat" menurut kalian yang "normal", tapi bukan berarti bisa dipukul rata. Kami punya cerita dan masalah masing-masing, yang jelas-jelas tidak bisa dipukul rata."

Aku tak ingat, lebih tepatnya tak mau ingat, petuah-petuah ala motivator apapun yang mereka lontarkan sebagai alasan. Meski maksudnya baik, cara yang mereka terapkan salah besar.

Ini hanya akan menjerumuskanku ke alam pikiran sempit mereka. Aku takkan bisa menjadi diriku, karena mereka berusaha mengatur sampai sedemikian rupa.

Mereka terlalu menganggap enteng persoalan ini, dengan memukul rata beragam keunikan dalam satu stempel picik berbungkus niat baik. Teguran kerasku seharusnya sudah bisa melucuti kepicikan mereka. Tapi, apa boleh buat, hati mereka mungkin sedang tertidur pulas, setelah ditimang-timang oleh kepicikan. Persis seperti penggalan lirik lagu "Sssttt", yang nyentrik itu.

Dan sekarang semua rasa sudah gila
Dan gila pun merasakan punya jiwa
Namun kau tak pernah juga bilang gila
Takkan pernah, takkan pernah hilang gila

Aku menegur mereka, karena akulah yang memang mengalami dan merasakan langsung semuanya sendiri. Mereka hanya tak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Mereka tak pernah mengalami, apalagi merasakan. Jadi, apapun kata-kata mutiara yang mereka katakan, itu hanya omong kosong menyesatkan.

Jujur saja, ini adalah satu penghinaan paling menyakitkan, karena ia membandingkan  begitu saja, sebuah nasib yang harus kujalani sejak lahir. Lewat perbandingan ini, ada satu pukulan lain, yang mempertanyakan komitmen yang sudah dijalani.

Jangankan penyandang disabilitas, manusia yang normal secara fisik pun enggan dibandingkan seperti ini kan?

Apalagi, kalau demi sebuah komitmen, ada banyak hal yang harus direlakan. Rela hidup sendiri di perantauan, rela berhemat demi bisa menabung barang sedikit, dan rela menjadi tegar di depan orang-orang tersayang, meski sebenarnya sedang berjuang habis-habisan.

Buat mereka, mungkin ini perkara receh. Andai gaji macet gara-gara wabah penyakit mematikan pun, masih ada orang tua yang mau membiayai. Hura-hura masih jalan, makan enak pun masih aman, minimal untuk diumbar di Instagram.

Aku? Tidak!

Mungkin, orang tuaku masih cukup mampu untuk menyuplai dana. Tapi, bagiku itu sangat tidak pantas. Aku sudah terlalu tua untuk merengek minta uang, seperti bocah balita ingin beli semangkuk es krim. Lagipula, masih ada yang lebih membutuhkan.

Semua itu tak mungkin kulakukan tanpa semangat; semangat untuk bertahan hidup, dan bisa hidup secara wajar, dalam kodrat sebagai seorang manusia. Jadi, maaf, siapapun yang mempertanyakan semangatku, mungkin mereka sudah agak sinting. Begitu juga, kalau mereka melakukan itu ke orang lain.

Aku sudah melihat semuanya, banyak yang cuci tangan, tiap kali kekacauan datang. Mereka bilang, keragaman memperkaya, nyatanya, ini jadi masalah, karena bagi mereka keragaman hanya demi pencitraan.

Saat wabah penyakit datang, kerelaan untuk "kerja sukarela" sempat jadi tuntutan. Andai semua kebutuhan hidup gratis dan dijjamin penuh negara, itu masuk akal, tapi maaf, di negeri penuh tikus berdasi ini, semua itu masih sebuah angan.

Kalaupun ada solusi, wujudnya hanya saran rasa putus asa. Bukannya mengurangi, tapi menambah masalah.
Lucu sekali.

Ternyata, masih ada saja yang sempat mempertanyakan semangat orang lain, di saat mereka sendiri sedang putus asa. Kalau mau menghibur diri, masih banyak cara yang lebih waras. Kalau mau jadi gila, gilalah sendiri, aku masih ingin berjuang dengan waras.

Sebelum mereka sempat berkata, "Maaf, kami tidak tahu" seperti yang sudah-sudah, aku hanya bisa berkata sambil berlalu, "Maaf, tak ada seorangpun di dunia ini, yang mau dibandingkan seperti fitur telepon pintar. Manusia bukan barang.".

Aku tak peduli, sehancur apa perasaan mereka, seburuk apa perasaan "kalah" mereka. Aku hanya ingin mereka tahu, dunia ini terlalu luas, untuk hanya diisi sebuah pemikiran picik nan sempit.

Aku sadar, cepat atau lambat, aku akan menapaki hari terakhirku. Pada saatnya nanti, aku akan pergi tanpa pernah kembali. Aku akan melangkah maju, dengan membawa semua memori indah, seperti penggalan lirik lagu "Butiran Angin":

Dan kita 'kan pergi
Berlayar menyeberangi samudra
Lepas tak bertepi panorama
Seluas angan
Sebebas alam pikiran yang berkelana

Melukis angin
Melintasi laut di perjauh
Tiada beban hanya kesan
Yang tak terungkapkan
Tak terlupakan hingga hari-hari nanti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun