Buat mereka, mungkin ini perkara receh. Andai gaji macet gara-gara wabah penyakit mematikan pun, masih ada orang tua yang mau membiayai. Hura-hura masih jalan, makan enak pun masih aman, minimal untuk diumbar di Instagram.
Aku? Tidak!
Mungkin, orang tuaku masih cukup mampu untuk menyuplai dana. Tapi, bagiku itu sangat tidak pantas. Aku sudah terlalu tua untuk merengek minta uang, seperti bocah balita ingin beli semangkuk es krim. Lagipula, masih ada yang lebih membutuhkan.
Semua itu tak mungkin kulakukan tanpa semangat; semangat untuk bertahan hidup, dan bisa hidup secara wajar, dalam kodrat sebagai seorang manusia. Jadi, maaf, siapapun yang mempertanyakan semangatku, mungkin mereka sudah agak sinting. Begitu juga, kalau mereka melakukan itu ke orang lain.
Aku sudah melihat semuanya, banyak yang cuci tangan, tiap kali kekacauan datang. Mereka bilang, keragaman memperkaya, nyatanya, ini jadi masalah, karena bagi mereka keragaman hanya demi pencitraan.
Saat wabah penyakit datang, kerelaan untuk "kerja sukarela" sempat jadi tuntutan. Andai semua kebutuhan hidup gratis dan dijjamin penuh negara, itu masuk akal, tapi maaf, di negeri penuh tikus berdasi ini, semua itu masih sebuah angan.
Kalaupun ada solusi, wujudnya hanya saran rasa putus asa. Bukannya mengurangi, tapi menambah masalah.
Lucu sekali.
Ternyata, masih ada saja yang sempat mempertanyakan semangat orang lain, di saat mereka sendiri sedang putus asa. Kalau mau menghibur diri, masih banyak cara yang lebih waras. Kalau mau jadi gila, gilalah sendiri, aku masih ingin berjuang dengan waras.
Sebelum mereka sempat berkata, "Maaf, kami tidak tahu" seperti yang sudah-sudah, aku hanya bisa berkata sambil berlalu, "Maaf, tak ada seorangpun di dunia ini, yang mau dibandingkan seperti fitur telepon pintar. Manusia bukan barang.".
Aku tak peduli, sehancur apa perasaan mereka, seburuk apa perasaan "kalah" mereka. Aku hanya ingin mereka tahu, dunia ini terlalu luas, untuk hanya diisi sebuah pemikiran picik nan sempit.
Aku sadar, cepat atau lambat, aku akan menapaki hari terakhirku. Pada saatnya nanti, aku akan pergi tanpa pernah kembali. Aku akan melangkah maju, dengan membawa semua memori indah, seperti penggalan lirik lagu "Butiran Angin":