Sehubungan dengan pandemi COVID-19, ada banyak larangan untuk berkegiatan di tempat umum, terutama yang mengumpulkan banyak orang, misalnya beribadah, mudik dan bekerja.Â
Tujuannya, agar mata rantai penyebaran virus Corona bisa diputus. Secara garis besar, larangan ini merupakan gambaran umum dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Setelah sebelumnya hanya berlaku di wilayah Jakarta, kebijakan PSBB lalu diberlakukan secara nasional. Akibatnya, kelancaran aktivitas di berbagai bidang, seperti pendidikan, transportasi, dan perdagangan terhambat. Beruntung, sektor vital seperti logistik masih beroperasi normal. Alhasil, situasi tetap kondusif.
Tapi, pada Senin,(11/5), seperti dilansir Kompas.com, pemerintah membuat satu kebijakan yang cukup kontroversial, yakni membolehkan warga berusia di bawah 45 tahun beraktivitas seperti biasa. Keputusan ini disampaikan Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 melalui video conference.
Tanpa bermaksud untuk menjadi malas, akibat terlalu lama bekerja di rumah, saya melihat kebijakan ini ada, tapi bukan untuk dituruti, apalagi dijalankan. Alasannya sederhana, kebijakan ini sangat tidak masuk akal, dan kurang bertanggung jawab.
Disebut tidak masuk akal, karena kebijakan ini ada, di tengah belum redanya pandemi. Bukan hanya itu, kebijakan ini ada, saat kasus transmisi lokal virus Corona sudah mulai merambah ke berbagai daerah di Indonesia. Jika kasusnya sudah nol, kebijakan ini layak diberlakukan.
Pola pikir "ajaib" di balik kebijakan ini  terlihat, dari realitas yang ada di lapangan. Bagi mereka yang punya kendaraan pribadi, mungkin tidak masalah, walaupun tetap akan kebingungan karena ada kebijakan PSBB.
Bagi yang menggantungkan diri pada transportasi umum atau daring, ini jelas masalah besar. Ojek online sedang dilarang beroperasi, sementara moda transportasi lain jumlah armadanya dibatasi, bahkan ada yang tidak beroperasi sama sekali. Jadi, sangat tidak masuk akal jika kebijakan ini dijalankan.
Jika alasannya untuk "mencegah terjadinya PHK", rasanya ini juga kurang masuk akal. Malah, kebijakan ini terkesan seperti "gali lubang tutup lubang", karena pemerintah sendiri mencatat, per April 2020, ada 1,94 juta tenaga kerja di PHK akibat imbas pandemi Corona.
Andai semua aktivitas bisnis dan besaran gaji pekerja sudah normal, alasan ini masuk akal. Masalahnya, aktivitas banyak sektor masih terhambat, dan para pekerja masih harus rela mendapat gaji yang nilainya terus disesuaikan (kalau tak mau dibilang dipotong), bahkan ada juga yang tak dibayar sepeserpun.
Jelas, jika alasan "mencegah terjadinya PHK" masih digunakan, ini adalah satu blunder fatal. Bukannya memperbaiki, justru kerusakan lebih parah yang akan didapat, karena pelaku usaha akan dipaksa menanggung biaya dan kerugian lebih besar, sementara para pekerja akan semakin menderita.