April
Di batas hujan dan kemarau silam
Angin
Sampaikan mimpiku padanya
Itulah penggalan lirik lagu "April", yang biasa menemaniku, saat bulan keempat ini kembali datang. Biasanya, ini menjadi bulan, tempat begitu banyak orang berharap, hujan segera berlalu diganti senyum cerah sang mentari.
Harapan ini ada, terutama di ibukota, tempat dimana hujan besar hampir selalu menjadi banjir. Maklum, air hanya disuruh tertib mengantri seperti bebek, untuk bisa masuk ke dalam tanah, sementara tanah di ibukota banyak yang sudah  terlanjur tertutup beton atau menjelma menjadi bangunan. Apa boleh buat, air terpaksa harus mengantri dimana-mana, layaknya antrian sembako gratis.
Dalam keadaan biasa ini, April memang jadi penanda datangnya "musim semi" bagi harapan tiap orang. Ada yang berharap mendapat pekerjaan baru, ada yang berharap segera naik ke pelaminan, dan entah apa lagi.
Bagiku, April adalah penanda datangnya sebuah ketetapan. Ya, di bulan inilah, aku akhirnya bisa menemukan tempat tinggal tetap, setelah nekat mencari sendiri, menjelajah jantung ibukota, persis setahun silam.
Kenekatan ini muncul, karena orang-orang yang seharusnya bisa kupercaya sebagai rekan setim, justru membuat semua terlihat rumit. Dengan cerobohnya, mereka hanya mencarikanku tempat tinggal, dilihat dari jarak ke kantor. Â Harganya? Aku yang tanggung. Kalau mahal bagaimana? Kalau aku kesulitan? Jawab saja "kami tidak (mau) tahu!". Selesai.
Karena aku masih anak baru, aku hanya bisa menurut, apalagi kalau mereka sudah menodongku dengan berkata, "Kita tak tahu lagi harus cari ke mana, jadi tolong tempat ini segera kamu bayar.".
Atas nama "kesibukan", aku setengah dipaksa untuk memilih hal, yang ternyata tak sesuai dengan kondisi tubuhku yang berkebutuhan khusus, dan harus mengatur semua biaya hidup sendirian, tanpa ada sepeserpun subsidi dari orang tua.
Situasi ini sempat memaksaku berhutang kepada bos, untuk mengganti biaya sewa kost. Untunglah, kebiasaan berhematku banyak menolong. Jika tidak, aku hanya akan jadi budak hutang, padahal tak berutang saja sudah harus berhemat.
Tapi, satu masalah itu ternyata menjadi kunci pembuka, dari berbagai masalah lain. Sekali waktu, setelah libur lebaran, aku mendapati, laptop yang kutinggal di ruangan kantor raib entah kemana. Â Gilanya, tanpa sepengetahuanku, laptop itu ternyata dibawa pulang dan "diamankan" rekan setim, dengan alasan supaya tidak dicuri orang.
Ini logika yang sungguh sangat bodoh, karena di kantor selalu ada pasukan sekuriti, dan sistem pengamanan tambahan. Berhubung itu di "coworking place", ada begitu banyak barang mahal, termasuk komputer dan laptop, yang juga ditinggalkan saat libur. Aku hanya melakukan tindakan sewajarnya, tapi kenapa dibegitukan?