Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tiga Ruang

25 Desember 2019   15:12 Diperbarui: 25 Desember 2019   15:43 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu: Aku

"Jangan sampai kamu tidak menikah."

Itulah pesan dari Opa, saat kami berjalan kaki sepulang dari gereja, tujuh tahun lalu. Di hari Minggu yang cerah itu, seperti biasa kami beribadah di gereja, dan pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Seperti biasa juga, kami menempuh perjalanan pulang berjarak kurang lebih satu kilometer itu dengan santai. Saking santainya, kami biasa mengobrol tentang banyak hal, dari lelucon sampai serius.

Tapi, selama aku mengenal Opa, baru kali ini ia memberi pesan seserius itu. Pesan itu menjadi sebuah kesimpulan akhir, dari cerita kilas balik Opa, tentang pernikahan orangtuaku dulu. Memang, Opa adalah orang yang sangat kalem, cenderung pendiam malah. Ia hanya akan bicara banyak kepada orang tertentu, aku salah satunya.

Aku sendiri bisa memahami, kenapa Opa mendadak berkata begitu. Saat itu, aku memang terlihat sangat santai, belum berpikir sampai ke sana. Padahal, usiaku akan genap kepala dua dalam beberapa bulan lagi. Pada saat bersamaan, teman-teman sebayaku banyak yang sudah gonta-ganti pasangan, bahkan ada juga yang sudah menimang bayi.

Sebenarnya, apa yang kebanyakan orang lihat dari luar, sangat berbeda dengan apa yang sedang kurasakan. Saat itu, aku memang sudah menapaki tahun ketujuh tinggal di Kota Klasik, menjalani masa remaja, dengan berjuta warna dan rasa. Ada naik-turun, ada susah-senang, semua terlihat begitu lengkap.

Satu-satunya sisi muram di masa terindah itu hanyalah, ada luka demi luka yang datang silih berganti, karena kekurangan sejak lahir di tubuhku. Rundungan demi rundungan datang, dari segelintir orang yang menganggapnya sebagai sebuah kesenangan.

Mereka memang hanya segelintir oknum dari keseluruhan. Masalahnya, aku menghadapi nyaris semua itu sendirian. Bantuan baru datang, saat aku mulai ambyar luar-dalam.

Dari luar, tubuhku akhirnya tumbang, akibat menerima sebuah "candaan", yang memaksa kesadaranku pergi sejenak. Aku ingat, sebelum akhirnya tumbang di ambang pintu rumah, aku mati-matian menjaga kesadaran ini, layaknya menjaga nyala lilin di tengah tiupan angin kencang. Itu kulakukan, hanya demi sampai di rumah dengan selamat.

Setelahnya, aku sempat merasakan, leherku seperti dicekik tangan raksasa.  Ini membuat bernafas terasa sulit. Beruntung, penderitaan di tubuh rapuh ini bisa berakhir, tepat setelah senja menyapa. Andai pertolongan itu datang terlambat, mungkin hari ini aku hanya tinggal nama.

Dari dalam, hatiku terasa seperti diguncang gempa dahsyat dan gelombang tsunami, akibat gagal lolos seleksi masuk SMA favorit incaranku. Penolakan karena alasan fisik, plus isu tak sedap turut mewarnai. Kabarnya, ada yang bersedia membayar lebih untuk bisa diterima.

Terlepas itu benar atau tidak, aku sudah terlanjur muak. Setelah adaptasi susah payah dan berusaha keras, semua yang aku lakukan hanya dibuang ke tempat sampah. Apa gunanya?

"Aku ingin berhenti setelah ini semua berakhir. Setelah lulus SMP, aku ingin pulang saja ke Kota Dingin, sekolah di sekolah khusus, kalau ditolak juga, tak usah sekolah sekalian. Persetan dengan sekolah!", Kataku dalam keputusasaan.

Sebenarnya, orang tuaku menghendaki aku sekolah di dekat pusat kota. Tapi, terus terang saja, aku waktu itu sangat takut, karena sebagian besar dari para perundung itu  masuk ke sana. Masa iya aku akan masuk ke lubang yang sama?

Tapi, kenyataan pada akhirnya berkata lain. Setelah melalui proses seleksi singkat, aku akhirnya diterima di sana. Ini menjadi kabar baik, meski sebenarnya aku masih berharap lain.

Apa yang kualami saat itu, sukses meninggalkan trauma. Ada rasa takut yang harus kuhadapi, bersama perihnya luka hati yang belum pulih. Sialnya, para perundung itu ternyata ada yang merasa, aku berhasil mengalahkan mereka. Padahal, ini sama sekali bukan soal menang-kalah. Kalau benar aku menang, aku tak akan pernah mendapat trauma, apalagi luka batin separah itu.

Situasi ini, rupanya disadari oleh pihak sekolah. Alhasil, aku ditempatkan di kelas yang sama sekali berbeda, tak ada satupun teman satu sekolahku dulu. Kelas ini berisi teman-teman yang menyenangkan, lengkap dengan wali kelas yang sangat eksentrik. Tak disangka, kombinasi itu membuatku bisa pulih kembali. Di sana, aku bebas menjadi diriku, dan tahun itu aku ingat, sebagai tahun paling damai di masa remajaku.

Setelah menjalani "masa rehabilitasi" selama setahun, aku mengalami masa-masa tragis itu lagi selama dua tahun. Hanya karena aku belum pernah pacaran, ada yang merundungku (lagi). Aku heran, apa maunya?

Masa sulit "jilid dua" ini kujalani bersama sepasang ironi. Pertama, saat nilaiku sudah lepas landas, fisik (lagi-lagi) jadi salah satu alasan aku ditolak seleksi masuk jalur nilai universitas. Kedua, masih ada saja segelintir perundung yang harus kuhadapi sendirian, di tengah banyaknya teman yang menerimaku dengan hangat.

Beruntung, pengalaman pahit semasa SMP dulu, sukses menghasilkan satu kenekatan dalam diriku. Untuk masalah pertama, aku nekat datang langsung ke kampus itu untuk ikut tes tertulis, dan akhirnya diterima. Momen ini membuatku merasakan sebuah kemenangan batin, untuk pertama kalinya dalam hidup. Mungkin  terdengar konyol, tapi ini jauh lebih baik, daripada kalah dalam rasa penasaran tanpa bertanding langsung.

Sebenarnya, pada saat hampir bersamaan, aku mendapat kesempatan lolos seleksi tanpa tes, dari sebuah universitas di Kota Juang. Kesempatan inilah yang sangat ingin kuambil. Kebetulan, semua pengalaman pahit yang kualami pelan-pelan mengikis rasa nyamanku di Kota Klasik.

Sayang, saat orangtuaku mengiyakan, Opa justru sangat keberatan. "Kamu kuliah di sini saja, jangan kemana-mana!", Katanya tegas.

Apa boleh buat, aku mengiyakan dengan berat hati. Inilah alasan kenapa aku masih mau bertahan di Kota Klasik.

Untuk masalah kedua, akhirnya aku bisa meledakkan semua amarah yang sudah kubendung selama hampir dua tahun. Entah dapat nyali dari mana, aku berani menggugat ulah mereka. Dalam gelombang amarah tak tertahankan, aku bertanya, "Andai badanku normal, apa aku masih akan kalian beginikan juga?".

Cukup satu pertanyaan, tapi hari itu aku tetap menangis sesampai di rumah. Ada dua rasa di hatiku. Di satu sisi, aku bersyukur, amarah yang selama ini ingin aku keluarkan bisa meledak tanpa sisa, layaknya letusan Gunung Merapi saat sedang "punya gawe". Ironisnya, di sisi lain, aku merasa sangat menyesal, karena bisa (dan sudah) berbuat sekejam itu kepada mereka.

Kesan "kejam" dari pertanyaanku saat itu kudapat, karena aku melihat sendiri, segera setelah pertanyaan itu terlontar keluar dari mulutku, wajah para perundung itu tampak terguncang. Mungkin mereka tak menyangka, aku si tubuh lemah yang masih jomblo ini, ternyata masih bisa marah besar dan memukul balik mereka, hanya dengan satu pertanyaan. Gila!

Saking terguncangnya, aku ingat, mereka sama sekali tidak berkata sepatah katapun selama beberapa hari. Mereka baru berkata-kata lagi, saat ujian akhir mendekat. Semuanya meminta maafku dengan penuh penyesalan, bahkan ada yang sampai berlinang air mata.

Ya, kalian benar, aku memaafkan mereka semua. Tapi, aku butuh waktu sedikit lebih lama, untuk berdamai dengan semua memori pahit itu. Inilah yang membuatku tak pernah sempat memikirkan cinta, sampai pesan dari Opa itu datang tepat setahun setelahnya.

Dua: Cinta

"Setiap makhluk hidup diciptakan Tuhan berpasang-pasangan. Papa rasa kamu sudah cukup dewasa. Kamu boleh cari pacar mulai sekarang."

Begitu pesan Papa saat kami sedang makan sore, beberapa hari setelah pesan Opa itu kuterima. Kebetulan? Entahlah.

Buat kebanyakan orang, terutama mereka yang sudah kebelet pacaran, pesan Papaku tadi mungkin akan dirayakan dengan meriah. Minimal, ada kegembiraan yang bakal awet selama beberapa hari.

Tapi, jika ada yang bertanya kepadaku, apa yang kurasakan, mari kujawab.

Gembira? Sedikit.
Kaget? Sangat!
Bingung? Pastinya.

Jelas, setelah semua gonjang-ganjing yang kulewati nyaris sendirian, aku merasa kosong saat mendapat "lampu hijau" itu. Aku tak tahu harus mulai dari mana atau berbuat apa.

Di sisi lain, aku merasa sangat inferior luar-dalam. Dari luar, tubuhku jauh dari kata menarik, apalagi mempesona. Cacat fisik bawaan sejak lahir yang kupunya membuatku terlihat kurus dan rapuh. Level kemampuan fisikku bahkan berada jauh di bawah manula. Jadi, aku sudah terlanjur punya satu nilai minus teramat besar di sini. Dilatih sekeras apapun, aku tetap seorang penyandang cacat.

Dari dalam, kelemahan tubuhku sukses membuat aku merasa sangat minder. Tak cukup sampai disitu, aku juga harus rela menyadari, aku bukan berasal dari keluarga yang bisa mengeluarkan uang seperti membuka keran air di kamar mandi. Untuk membeli satu buku bacaan saja, aku kadang masih harus berhemat sendiri, apa jadinya kalau berkencan?

Lagipula, orangtuaku menerapkan larangan berpacaran sampai aku lulus SMA. Jadi, apa gunanya? Aku memang bisa saja mencoba menjalani hubungan "backstreet", tapi aku tak mau mencari masalah dengan orangtuaku. Mereka sudah lelah karena tiap hari banting tulang untuk menghidupi keluarga. Akan bodoh jika aku berulah seperti ini.

Alhasil, aku sering berjalan-jalan ke mall, keluyuran, atau menonton film sendirian. Aku tahu, banyak yang menganggapku aneh, sakit jiwa, atau semacamnya, karena aku terlihat menikmati, meski langkah kakiku terpincang-pincang. Melelahkan. Aku ingat, ada banyak orang melihatku dengan tatapan mata heran dan aneh, seperti sedang melihat penampakan.

Tapi, buatku ini adalah satu berkat, karena aku masih bisa berjalan dengan kakiku sendiri.

Salah satu momen yang pernah membuatku ingin tertawa sekaligus marah adalah, saat Bin, seorang teman dari geng sosialita di sekolahku pernah mengajakku bicara, soal kebiasaanku itu.

"Kamu nggak malu? Jalan sendirian, terpincang-pincang, di tempat umum lagi! Kenapa nggak cari pacar?", Cecarnya.

"Kenapa? Apa jalan-jalan itu nggak boleh dilakukan sendirian?", Tanyaku heran.
 
"Apa yang kamu lakukan itu aneh. Anak SMP atau SMA itu kalo jalan-jalan minimal sama pacar.", Serangnya.

"Masalahnya, aku masih belum punya. Apa kamu punya solusi?", Tanyaku.

"Gimana kalo kamu sewa pacar, sekali jalan 500 ribu rupiah. Aku punya teman di agensi modeling yang biasa begini.", Tawarnya.

"Kalo kamu yang bayarin, aku mau. Kamu tahu kan, aku sehari-hari pulang sekolah naik angkot, serba irit.", Aku coba menawar balik.

"Atau, kamu mau aku suruh Si Gadis menemanimu?"

Tawaran Bin yang satu ini sempat membuatku bergetar. Aku terdiam sejenak, jiwaku pergi sebentar ke alam lamunan. Maklum, Gadis adalah seorang Primadona, kulitnya putih mulus, tubuhnya proporsional, sikapnya pun anggun layaknya seorang putri bangsawan.

Terlepas dari sikapnya yang terkadang gesrek saat diajak bercanda, ia memang gambaran sosok wanita idaman; cantik, baik hati, mandiri, berotak encer, dan berasal dari kalangan berada. Tak heran, banyak pria rela mengantri hanya sebatas untuk berkenalan dengannya.

Secara pribadi, aku dan Gadis sebenarnya saling mengenal dan bertetangga, meski tak dekat. Sebagai seorang pria tulen, aku pun dengan jujur mengakui, ia benar-benar sukses membuat hati pria manapun berdesir tajam, hanya dengan melihatnya dari kejauhan. Jadi, jangan tanyakan seperti apa rasa di dalam hati kami para pria tulen, jika ia mau membalas sapaan kami, apalagi sampai sudi menyapa dalam senyum dan sikap ramah.

Mungkin, inilah wujud Juwita, yang pernah digambarkan dalam lirik lagu "Juwita", yang legendaris itu

Selembut kurasakan tatapan rembulan
Kau dewiku bintang kejora
Tiada lagi cahaya kudamba
Mengusik kalbu dalam pesona

Andai saja tubuhku normal, dan hatiku saat itu tak sedang luka karena trauma, aku akan berani memikirkannya, meskipun aku tetap saja belum tentu berani melangkah lebih jauh, karena ia sungguh berkelas. Oke, aku bisa saja bermimpi jadi "Cinderella Boy.", Tapi dunia nyata tidak semudah itu, Luciano!

Saat aku kembali ke alam sadar, aku melihat Bin menatapku dengan nakal. Entah kenapa, sikapnya kini tampak sangat kontras dengan tubuh atletisnya.

"Hei, mukamu merah.", Tegurnya.
"Ah, enggak kok.", Elakku gugup.
"Kalo kamu mau, kamu bisa ajak dia. Aku dengar kalian bertetangga. Beruntung sekali.", Bin menggodaku.

"Tapi, aku sedikit lebih pendek dari dia.
Badanku pun begini. Apa tidak memalukan buatnya?", Aku mencoba jujur.

Rupanya, inilah kalimat "skakmat" yang ditunggu Bin keluar dari mulutku.

"Gampang, kamu bisa suruh dia membungkuk atau menekuk kakinya. Kalo ternyata dia enggan, kalian tak perlu kencan.", Bin melengos pergi sambil tersenyum sinis.

Ternyata, percakapan ini dimanfaatkan Bin untuk membuat gosip: aku menyukai Gadis. Perlu beberapa waktu untuk membereskan ini. Aku sendiri sempat mendapati, Gadis marah padaku. Bahkan, akun medsosku sempat diblokir, sebelum akhirnya ia tahu, ini hanya gosip tak penting.

Sebelumnya, aku juga pernah beberapa kali menerima  gosip serupa. Sekali waktu, pernah aku dikaitkan dengan Imel, Si Sosialita, di lain waktu, aku dikaitkan dengan Emma, Si Manis Bersuara Rocker, dan entah siapa lagi. Saking seringnya, aku malas untuk mengingat. Semua selalu dimulai dan selesai tanpa jejak, dengan menghasilkan kerusakan yang mengganggu.

Inilah salah satu jenis "bullying" yang dulu biasa kuterima. Seperti biasa, untuk "bersenang-senang" mereka mempermalukan kejombloanku, sambil memperingatkanku secara halus, kalau tubuh rentaku adalah sebuah
"kelemahan alami nyaris sempurna" di mata para wanita. Jadi, aku dilarang, meski hanya sebatas bermimpi, untuk memiliki, meski sosok cantik selalu saja ada, dan mengisi hari-hari remaja dan mudaku di Kota Klasik.

Insiden gosip antara aku dan Gadis ini sempat membuatku enggan untuk berpikir soal cinta. Bagiku saat itu, cinta hanyalah sampah, karena kondisi fisik seseorang masih menjadi hambatan seperti halnya uang. Cinta memang butuh uang, tapi di usia remaja dan muda (belum bekerja), cinta dan uang hanya simbol hura-hura.

Masih ada begitu banyak hal yang jauh lebih penting, daripada menghabiskan uang hanya untuk kencan. Kalau memang pacaran itu hubungan berlandaskan "cinta" yang "dewasa", tak seharusnya seseorang rajin merengek minta uang, hanya untuk membayar ongkos kencan ke orangtuanya, seperti bocah minta dibelikan es krim. Jelas, merekalah yang kencan, bukan orangtuanya.

Inilah yang membuatku tertawa, karena masih ada rundungan datang, atas hal yang sebenarnya bukan urusan mereka. Apa perlunya?

Di sisi lain, aku marah, karena Bin masih berani menyerang kelemahanku, meski sebenarnya ia sama-sama masih jomblo, dan gerak-geriknya sangat gemulai seperti penari balet.

Sayang, tubuhku terlalu rapuh untuk marah, apalagi mengamuk di depannya. Apa boleh buat, semua kemarahanku ini terpaksa kusimpan. Seiring berjalannya waktu, kemarahan ini mengendap menjadi kegetiran nan traumatis.

Semua kegetiran ini tersimpan rapi di kepalaku, sampai kudapat "lampu hijau" dari Papa untuk mulai cari pacar. Lampu hijau itu sukses memaksaku memutar ulang semua memori pahit tentang cinta, lengkap dengan bumbu rasa minder.

Dalam perjalanannya, kegetiran ini menjadi awal dari kegagalan demi kegagalan, kesedihan demi kesedihan. Semua kembali kuhadapi sendirian dengan hati hancur, tanpa ada harapan pasti tentang kabar baik. Aku merasa, aku sungguh mengenaskan, berantakan, tanpa arah.

Saat aku menyukai seseorang, aku hanya bisa menangis pilu, karena semua selalu berawal dan berakhir menyedihkan. Di awal, aku menangis pilu, karena luka masa lalu dan rasa minder menyerangku tanpa ampun. Di akhir, aku kembali menangis pilu, karena mereka hanya merasa kasihan atau kagum, tanpa ada sedikitpun rasa di hati, persis seperti lirik yang terlantun di lagu "Hanya Memuji"

Kuakui tubuhku melunglai
Sempat kumemuji dalam hatiku
Jangan pikir aku kan mencinta
Ku hanya kagumi, hanya memuji

Situasi ini terus berulang, sampai aku sendiri akhirnya merasa lelah. Lagu itu seperti lagu wajib yang mereka "koor"-kan, tiap kali aku mencoba jujur kepada mereka soal perasaanku. Pada akhirnya, mereka menjebakku di area "friendzone", sebelum akhirnya menghapus total diriku dari ingatan mereka. Tanpa malu-malu lagi, mereka membuatku menjadi seperti makhluk astral; masih ada, tapi diperlakukan seperti sudah tiada. Sungguh kejam, lebih kejam dari pembunuh berdarah dingin.

Aku tahu, aku hanya menjadi aib buat mereka, khususnya dalam hal percintaan. Bagi banyak orang, punya "penggemar" bisa menjadi sebuah kebanggaan, tapi jika penggemarnya "buruk rupa" atau "buruk wujud", itu bisa membuatnya jadi bahan tertawaan.

Setidaknya, penolakan seperti ini masih lebih baik, daripada dipaksa kalah sebelum bertanding, akibat keduluan para lelaki kaya nan manja. Meskipun, keduanya selalu menyisakan rasa sakit tanpa berdarah di hati.

Pada akhirnya, kegetiran yang kualami makin lengkap, setelah Opa berpulang dua tahun setelah memberiku pesan:

"Jangan sampai kamu tidak menikah."

Pesan itu sebenarnya adalah satu penyemangat sekaligus tekanan buatku untuk mau berjuang lebih keras.  Sayang, aku harus rela menanggung sendiri begitu banyak luka. Luka itu terus bertambah sebelum sempat diobati. Semakin aku berusaha, semakin banyak pula luka yang kudapat.

Semua rasa sakit itu seolah tak henti melantunkan lirik lagu "Dari Sebuah Mimpi Buruk", yang membuat semua terasa kian getir:

Jika ku sandingkan ku dengannya
Tiada habis lara
Yang ada hanya tangis belaka
Dan berbuah luka
Pilu nyatanya
Memar hatiku
Oh rentannya aku
Sungguh malu
Runtuh...
Runtuh...
Runtuh...

Dalam deraan segudang rasa sakit, hatiku hanya bisa bertanya:

"Can anybody find me somebody to love?"

Persis seperti lagu lawas yang pernah didendangkan Freddie Mercury itu.

Tiga: Grinta

Dalam hidup, tiap orang pasti punya satu kata kunci, yang (setidaknya) pernah menjadi warna dominan, meski hanya sebentar. Jika hanya ada satu saja kata yang harus kupilih, itu adalah "Luka". Inilah kata yang rajin mewarnai hidupku, dari satu masa ke masa lainnya. Ia seperti seorang siswa teladan yang tak kenal kata bolos.

Aku memang banyak mendapat luka, karena tubuh lemah ini. Benar, ia adalah teman sehidup sematiku yang paling pertama, sebelum dia yang akan menjadi teman hidupku datang.

Tubuh ini memang jadi satu alasan, kenapa aku mau berusaha sampai akhir. Tak heran, banyak orang tampaknya berdecak kagum, karena aku terlihat seperti seorang petarung.

Tapi, mereka mungkin tidak pernah melihat, apa saja dan berapa banyak luka yang kupunya. Mereka melihatku tampak masih babak belur, dengan luka di sana-sini. Tapi, tak ada satupun yang menyadari, rasa sakit macam apa yang sedang atau sudah kurasakan.

Sebenarnya, aku masih punya teman-teman yang selalu saja ada, entah saat senang atau susah. Tapi, aku tak mungkin selalu bergantung pada mereka setiap waktu. Mereka pun punya masalah dan kehidupan masing-masing, yang pada batas tertentu tak boleh kucampuri.

Setelah melewati luka demi luka itu, untuk beberapa saat lamanya, aku melupakan semua hal tentang cinta.

Dengan lantang aku berkata,
"Persetan dengan cinta!"

Saat itu, aku masih harus berjuang keras untuk bisa menyelesaikan studi, dan setelahnya langsung disambung dengan perjuangan mencari kerja, melewati luka demi luka lain dalam bentuk penolakan berbungkus kata-kata motivasi, yang sebenarnya adalah penolakan karena kondisi tubuhku yang "bermasalah" menurut standar "normal" yang mereka buat sendiri.

Apa boleh buat, aku harus rela menjalani hidup sebagai pekerja serabutan, lengkap dengan segala kepahitannya; mulai dari penghasilan tak menentu, sampai mendapat cap tak enak sebagai "pengangguran". Tunggu, mana ada pengangguran yang punya sedikit penghasilan?

Dalam situasi tak menentu, aku sempat mendapat kesempatan merintis usaha patungan bersama teman. Saat itu, aku melihat ini sebagai sebuah jawaban atas semua ketidakmenentuanku. Menjadi wirausaha, dan dipandang orang jika sukses, siapa tak mau? Untuk sesaat, aku terbuai dalam bayangan mimpi manusia kekinian: menjadi wirausaha.

Sayang, mimpi hanyalah mimpi. Usaha patungan itu ternyata hanya modus tipu-tipu. Uang yang kutabung susah payah dibawa lari. Bahkan, aku hampir saja diseret ke dalam permainan kotor, yang tak lebih dari satu usaha mereka untuk memerasku lebih jauh.

Teror dan gangguan demi gangguan terus kudapat dan harus kuhadapi sendirian. Semua itu membuatku makin sengsara. Hidup tak tenang, uang tak ada. Tubuh lemah ini juga membuatku tak berdaya; melawan tak bisa, diam makin sengsara. Padahal, merekalah yang seharusnya takut, karena membawa lari milik orang lain.

Pada akhirnya, mimpi buruk itu berakhir, segera setelah aku merelakan semua uang itu pergi. Ini menjadi tragedi dan luka berikutnya buatku. Dalam deraan rasa sakit teramat sangat, aku memutuskan, suatu hari nanti, aku harus pergi.

Setelah melewati masa sulit itu sendirian, akhirnya aku mendapat jalan keluar dari Kota Klasik. Tak tanggung-tanggung, aku mendapat kesempatan merantau ke Ibukota, hidup sendiri sebagai anak kost.

Meski harus hidup sendiri, entah kenapa aku justru menemukan rasa nyaman, yang sudah lama sekali tak kujumpai. Benar, aku menjalani hari-hari melelahkan di sini, ditemani kemacetan dan absurditas khas Ibukota.

Tapi, aku bersyukur, karena sang waktu terus menuntun langkah kaki rapuh ini, menemukan satu persatu harta berharga, yang tersusun layaknya kepingan puzzle. Ada teman, ada keluarga, semua bergantian mengisi hari-hariku di sini. Rasa lelah selalu terobati dengan istirahat, seperti halnya rasa sakit. Kata "pulih" yang dulu terlihat begitu lambat, kini bisa bergerak sangat cepat.

Di sini, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa "utuh" sebagai seorang manusia. Semua kepahitan yang sudah kualami di Kota Klasik membuatku kehilangan banyak rasa rindu padanya. Banyak orang bilang, setiap sudut Kota Klasik penuh kenangan dan terbuat dari rindu, tapi, aku tak sepenuhnya setuju.

Benar, selain semua kenangan pahit itu, aku juga punya kenangan manis di sana. Inilah yang membuat Kota Klasik seperti segelas kopi susu buatku. Tapi, aku tidak hidup di alam kenangan, aku juga bukan seorang yang layak dikenang bagai pahlawan. Aku hanya layak diingat, jika orang lain berpendapat demikian. Aku hanya seorang "nobody", bukan "somebody".

Lagipula, aku tak berasal dari Kota Klasik, aku lahir dan menghabiskan masa kecil di Kota Dingin. Bagiku, disanalah kata "rindu" dan "pulang" menemukan kesejatiannya, karena dari sanalah semua dimulai.

Benar, aku di sini hanya seorang anak kost, bukan siapa-siapa. Tapi, di sinilah aku mendapat perasaan bebas yang membahagiakan. Aku hanya perlu menjadi diriku. Selama aku diizinkan menjadi diriku sepenuhnya, selama itu pula aku punya rasa nyaman dan gembira.

Aku tak harus selalu membaur dengan keramaian, hanya untuk menemukan rasa nyaman. Ada kalanya aku menyepi di tengah keramaian, atau diam bersama sang sunyi, seperti saat harus menyatu dengan keramaian itu sendiri.
Kadang, ada batasan yang harus tetap dijaga dan dihormati, demi memastikan diri ini tetap selamat luar dalam.

Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan aku mulai merasakan, semua luka ini, adalah awal dari "grinta" (bahasa Italia, bahasa Inggris: grit; daya tahan, semangat juang, keberanian), yang ternyata tak pernah absen menemaniku, seperti halnya luka. 

Dalam situasi sulit, setiap kali masalah datang, ia getol mengingatkanku untuk tak berhenti terlalu lama, seperti kata lagu "Kembali Pulih Lagi"

Kesal beralaskan bualan saja
Masalah yang tak besar
Membuatku kecewa
Rasa ini melelahkan dan entah sampai kapan

Kini datang kembali
Kini datang kembali lagi

Rusak sebelah mana ku tak paham
Bukankah seharusnya
Kitasaling menjaga
Apa kabar perjalanan yang telah kita bina?

Akan kembali pulih
Akan kembali pulih lagi

Di seberang lamunan
Kuterbang tersihir alunan mimpi
Ya, mungkin ini yang nanti
Membawaku pergi
'Tuk selamanya
Kan berbahagia
Bercanda tertawa
Lagi

Aku ingat, disaat aku hancur karena tak bisa melawan rundungan dan dihajar masalah, grinta memberiku pelajaran, lengkap dengan nyali untuk marah dan melawan, seperti halnya saat harus merelakan. Grinta juga memberiku nyali, untuk mengambil satu keputusan drastis, yang tak terbayangkan sebelumnya: hidup sendiri di perantauan. Satu keputusan yang mungkin tidak populer di mata banyak orang, tapi inilah salah satu keputusan terbaik yang pernah kuambil.

Berkat grinta, aku juga boleh melihat sisi lain, di balik semua cerita "kegagalan cinta" nan tragis yang sempat kualami. Aku ingat, di tengah kegalauanku, Rie, teman lamaku yang belum lama ini menikah sempat berkata,

"Nikmatilah waktumu sekarang, saat masih sendiri. Karena, saat kamu tidak sendiri lagi, semua akan berbeda. Semua ada waktunya, ia akan datang saat kamu dianggap memang sudah 'siap' menjalani."

Dalam hal "kesiapan", kata-kata Rie ini, sedikit banyak mengingatkanku pada kata-kata teman-temanku yang lain, terutama saat mereka tahu aku hidup sendirian di ibukota.

"Dengan kondisi tubuhmu yang begini, ini adalah satu keajaiban. Bukan, kamu memang sudah 'siap'."

Dua hal ini sungguh melegakan, karena pada akhirnya membuatku sadar, meski saat ini masih sendiri, aku hanya perlu menjalani semuanya. Seperti lirik yang dinyanyikan dalam lagu "Sendiri".

Sendiri berjalan
Di tengah malam nan sepi
Kian jauh melangkah
Semakin gelisah

Sendiri termenung
Di larut malam nan hening
Hatiku s'makin gundah
Oh mata membasah

Bayu dingin lalu
Dan bintang mengedip sayu
Rembulan menyuram
Tiada terbayang harapan

Sendiri melangkah
Di jalan remang membisu
Kunanti engkau sinar
Bersama sang fajar

Sendiri termenung
Di larut malam nan hening
Hatiku s'makin gundah
Oh mata membasah

Bayu dingin lalu
Dan bintang mengedip sayu
Rembulan menyuram
Tiada terbayang harapan

Sendiri melangkah
Di jalan remang membisu
Kunanti engkau sinar
Bersama sang fajar

Mungkin, memang beginilah cara kehidupan berjalan. Ia menuntun begitu saja, ke tiap tahap yang akan dicapai. Kadang, kita baru menyadari, saat sudah, atau sedang mengalaminya. Seharusnya, tak ada kata "terlambat" di sini, karena semua pada dasarnya serba "tepat" dan "baik" sesuai ukuran masing-masing. Lagipula, tak ada seorang pun di dunia ini, yang punya garis takdir sama persis, sekalipun mereka kembar.

Karena, seperti halnya siang berganti malam, dinginnya malam pun pada saatnya akan digantikan pagi yang selalu datang bersama kehangatan sang fajar.

Yogyakarta, Natal 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun