"Aku ingin berhenti setelah ini semua berakhir. Setelah lulus SMP, aku ingin pulang saja ke Kota Dingin, sekolah di sekolah khusus, kalau ditolak juga, tak usah sekolah sekalian. Persetan dengan sekolah!", Kataku dalam keputusasaan.
Sebenarnya, orang tuaku menghendaki aku sekolah di dekat pusat kota. Tapi, terus terang saja, aku waktu itu sangat takut, karena sebagian besar dari para perundung itu  masuk ke sana. Masa iya aku akan masuk ke lubang yang sama?
Tapi, kenyataan pada akhirnya berkata lain. Setelah melalui proses seleksi singkat, aku akhirnya diterima di sana. Ini menjadi kabar baik, meski sebenarnya aku masih berharap lain.
Apa yang kualami saat itu, sukses meninggalkan trauma. Ada rasa takut yang harus kuhadapi, bersama perihnya luka hati yang belum pulih. Sialnya, para perundung itu ternyata ada yang merasa, aku berhasil mengalahkan mereka. Padahal, ini sama sekali bukan soal menang-kalah. Kalau benar aku menang, aku tak akan pernah mendapat trauma, apalagi luka batin separah itu.
Situasi ini, rupanya disadari oleh pihak sekolah. Alhasil, aku ditempatkan di kelas yang sama sekali berbeda, tak ada satupun teman satu sekolahku dulu. Kelas ini berisi teman-teman yang menyenangkan, lengkap dengan wali kelas yang sangat eksentrik. Tak disangka, kombinasi itu membuatku bisa pulih kembali. Di sana, aku bebas menjadi diriku, dan tahun itu aku ingat, sebagai tahun paling damai di masa remajaku.
Setelah menjalani "masa rehabilitasi" selama setahun, aku mengalami masa-masa tragis itu lagi selama dua tahun. Hanya karena aku belum pernah pacaran, ada yang merundungku (lagi). Aku heran, apa maunya?
Masa sulit "jilid dua" ini kujalani bersama sepasang ironi. Pertama, saat nilaiku sudah lepas landas, fisik (lagi-lagi) jadi salah satu alasan aku ditolak seleksi masuk jalur nilai universitas. Kedua, masih ada saja segelintir perundung yang harus kuhadapi sendirian, di tengah banyaknya teman yang menerimaku dengan hangat.
Beruntung, pengalaman pahit semasa SMP dulu, sukses menghasilkan satu kenekatan dalam diriku. Untuk masalah pertama, aku nekat datang langsung ke kampus itu untuk ikut tes tertulis, dan akhirnya diterima. Momen ini membuatku merasakan sebuah kemenangan batin, untuk pertama kalinya dalam hidup. Mungkin  terdengar konyol, tapi ini jauh lebih baik, daripada kalah dalam rasa penasaran tanpa bertanding langsung.
Sebenarnya, pada saat hampir bersamaan, aku mendapat kesempatan lolos seleksi tanpa tes, dari sebuah universitas di Kota Juang. Kesempatan inilah yang sangat ingin kuambil. Kebetulan, semua pengalaman pahit yang kualami pelan-pelan mengikis rasa nyamanku di Kota Klasik.
Sayang, saat orangtuaku mengiyakan, Opa justru sangat keberatan. "Kamu kuliah di sini saja, jangan kemana-mana!", Katanya tegas.
Apa boleh buat, aku mengiyakan dengan berat hati. Inilah alasan kenapa aku masih mau bertahan di Kota Klasik.