Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Kejutan di Hari Kerja

11 Desember 2019   00:12 Diperbarui: 11 Desember 2019   00:41 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal hari kerja, kebanyakan orang, termasuk saya, tentu tak berharap, akan ada kejutan istimewa. Maklum, hari kerja biasanya identik dengan rutinitas, datar, tak ada kejutan. Apalagi, jika itu adalah hari Selasa, hari yang dalam anekdot bahasa Jawa sering disebut sebagai hari "Selo-selone manungsa", alias hari paling "panjang" dalam sepekan, setelah Senin pastinya.

Tapi, pada hari Selasa, (10/12), saya berkesempatan menerima kejutan tak terduga. Berawal dari informasi dari bos dan atasan di kantor, tepat sebelum saya berangkat ke kantor, saya memberanikan diri mengikuti seminar bertajuk "Ask Me Anything", di kedutaan besar Australia. Seminar ini merupakan bagian dari peringatan Hari Disabilitas Internasional, yang jatuh pada tanggal 3 Desember.

Awalnya, saya ragu-ragu untuk ikut, karena saat informasi ini saya terima, pendaftaran secara online sudah ditutup sejak Minggu (8/12) lalu. Tapi, berhubung atasan dan semua rekan kerja di kantor mendesak saya untuk pulang lebih awal, saya memberanikan diri datang dan mendaftar langsung secara manual alias "on the spot" langsung di hari H acara.

Untunglah, cara nekat ini berhasil, walaupun saya sempat merasa seperti ikut ajang uji nyali. Maklum, ini adalah pengalaman pertama saya berkunjung ke kedutaan besar suatu negara sendirian. Boleh dibilang, ini menjadi satu "kenekatan" dengan hasil positif, terutama jika melihat apa yang saya dapat.

Dalam acara yang antara lain diisi oleh Ananda Sukarlan (musisi, penderita Asperger Syndrome), Angkie Yudistia (staf khusus Presiden Jokowi, penderita tunarungu), dan Cak Fu (Social Inclusion Program Consultant, penderita tunadaksa), saya merasakan satu momen langka, dalam posisi saya sebagai seorang berkebutuhan khusus.

Momen itu adalah interaksi dan diskusi bersama sesama "saudara senasib" saya, dengan masalah personal yang (ternyata) kurang lebih sama; bagaimana menangani rasa minder, menghadapi masa sulit (termasuk depresi), sampai masalah percintaan.

Bagi saya, ini termasuk momen langka. Karena, dalam keseharian, saya terbiasa menjadi "makhluk asing" sendirian diantara mereka yang secara fisik atau mental "normal". Situasi ini sudah saya alami sejak masa sekolah, dan masih berlanjut saat menapaki masa kerja.

Foto bersama (Dokpri)
Foto bersama (Dokpri)
Dalam kesempatan ini, para pembicara banyak menekankan, pentingnya mengubah perspektif soal disabilitas, baik secara personal maupun komunal.
Alih-alih dianggap sebagai hambatan, disabilitas justru perlu dilihat sebagai satu jalan untuk menemukan kelebihan terpendam, dan cara terbaik untuk mengenal lebih jauh, siapa diri kita. Dengan catatan, kita mampu menerima diri sendiri secara utuh lebih dulu, sebelum membuat orang lain mau menerima diri kita.

Jika sudah mencapai tingkatan ini, diskriminasi atau hambatan yang biasa diterima para penyandang disabilitas bukan lagi menjadi masalah. Malah, ini bisa menjadi awal terbangunnya sebuah kesadaran inklusif, yang pada akhirnya menjadi sebuah budaya.

Di sini, tak akan ada lagi sekat pembatas, antara mereka yang "normal" dan "berkebutuhan khusus", karena disabilitas bukan lagi dipandang sebagai satu "ketidakmampuan", tapi sebagai satu sarana untuk menggali potensi diri, di balik kekurangan seseorang. Karena, setiap manusia pada dasarnya setara, punya kelebihan dan kelemahan masing-masing, yang dapat saling melengkapi secara seimbang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun