Jika bicara soal klub top Eropa dari segi prestasi, AC Milan adalah salah satu tim yang sudah pasti masuk daftar. Karena, tim kesayangan Milanisti ini punya catatan prestasi keren, baik di level domestik maupun internasional. Di level domestik, Milan sukses meraih 18 gelar juara Liga Italia, terbanyak kedua setelah Juventus (35), atau sama dengan Inter Milan, sang rival sekota.
Di level internasional, catatan tujuh trofi Liga Champions mereka adalah yang terbanyak kedua setelah Real Madrid (13), dan menjadi tim Italia tersukses di Liga Champions. Selain itu, Si Merah Hitam juga berbagi rekor dengan Barcelona, sebagai klub tersukses di Piala Super Eropa (5 kali juara). Sebuah catatan prestasi yang tentunya istimewa.
Bicara soal pemain, AC Milan juga pernah diperkuat bintang top pada masanya. Mulai dari era Trio Grenoli (Gunnar Gren-Gunnar Nordahl-Nils Liedholm), Gianni Rivera dan Cesare Maldini, Trio Belanda (Gullit-Rijkaard-Van Basten), Franco Baresi, Paolo Maldini, Zvonimir Boban, George Weah, Andrea Pirlo, sampai Ricardo Kaka.
Pelatih berkualitas pun muncul silih berganti dari masa ke masa, mulai dari Arrigo Sacchi, Fabio Capello, Carlo Ancelotti, sampai Massimiliano Allegri. Begitu juga dengan pelatih asing berpengalaman macam Fatih Terim (Turki), dan Oscar Tabarez (Uruguay).
Dari sini saja, kita bisa melihat, seberapa panjang catatan sejarah kesuksesan Milan, dan seberapa layak mereka disebut sebagai "klub besar". Hal ini setidaknya juga terlihat, dari logo kehormatan "Badge of Honour" UEFA yang mereka kenakan, tiap kali bertanding di kompetisi antarklub Eropa.
Sayang, catatan prestasi dan sejarah panjang mereka belakangan terasa getir untuk diingat, khususnya dalam enam tahun terakhir. Tiga kali pergantian pemilik, dari Silvio Berlusconi ke Li Yonghong, lalu kini dimiliki Elliott Management, sudah lebih dari cukup, untuk menggambarkan seberapa rumit situasi Milan saat ini. Karena, rentetan pergantian ini menghasilkan beberapa kali pergantian di tubuh manajemen tim dan kursi pelatih.
Alhasil, Milan akrab dengan ketidakstabilan performa dan bongkar pasang komposisi pemain. Situasi ini membuat meraih trofi juara bak jauh panggang dari api. Jangankan berjaya di Italia dan Eropa, lolos ke Liga Champions saja sulit diwujudkan. Praktis, raihan satu gelar Piala Super Italia dan dua kali finalis Coppa Italia menjadi catatan prestasi, di tengah "banter era" Milan belakangan ini. Selebihnya, suram.
Terkini, catatan prestasi suram Milan bertambah, setelah UEFA mencoret Milan dari ajang Liga Europa musim 2019/2020, Jumat, (28/6) lalu, akibat gagal memenuhi standar regulasi Financial Fair Play UEFA. Jika diibaratkan dalam pepatah, Milan sedang berada dalam situasi "sudah jatuh tertimpa tangga". Karena, di liga domestik mereka gagal lolos ke Liga Champions, akibat kalah bersaing dengan Atalanta di pekan-pekan terakhir kompetisi.
Situasi ini membuat persiapan Krzysztof Piatek dkk jelang dimulainya kompetisi terlihat rumit. Ditambah lagi, Milan kembali mengganti pelatih dan jajaran direksi. Di kursi pelatih, ada Marco Giampaolo yang menggantikan posisi Gennaro Gattuso. Di jajaran direksi, Zvonimir Boban dan Paolo Maldini datang sebagai pengganti Leonardo Araujo yang pindah ke PSG.
Situasi rumit Milan kian lengkap, karena dengan kondisi neraca keuangan bermasalah dan absen di Eropa, ruang gerak mereka di bursa transfer pemain menjadi terbatas. Praktis, satu-satunya daya tarik tersisa Milan tinggal catatan sejarah kesuksesan mereka di masa lalu.