Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Melihat Kembali "Sense of Belonging"

15 Juni 2019   11:17 Diperbarui: 20 April 2021   10:23 3816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam dunia kerja, ada istilah "sense of belonging" atau "rasa memiliki" pada tempat kerja kita. "Rasa memiliki" belakangan menjadi satu hal yang kerap disebut dan ditekankan perusahaan kepada para pekerja era kekinian, untuk membangun soliditas dalam tim.

Sayangnya, pada titik tertentu, pemahaman atas "rasa memiliki" ini sering salah kaprah. Terutama, jika "rasa memiliki" tak dilihat secara utuh, termasuk dari mana ia berasal, dan bagaimana situasi-kondisi yang ada.

Sering terjadi, "rasa memiliki" hanya dipandang sebagai rasa "ikut menjadi pemilik perusahaan atau tempat kerja". Padahal, "rasa memiliki" adalah satu hal yang sama sekali berbeda dengan perspektif ini.

"Rasa memiliki" sendiri, sebenarnya adalah hasil kombinasi dari kesadaran, komitmen, respek, dan sedikit rasa "posesif" (dalam konteks positif, antara lain lewat dedikasi dan sikap kompetitif). Pada takaran dan pemahaman yang tepat, "rasa memiliki" bisa "naik kelas" menjadi "rasa cinta", dan pendorong ampuh untuk terus melangkah maju, baik secara pribadi maupun kolektif.

Tapi, jika "rasa memiliki" hanya dipahami secara parsial, dampaknya justru akan merusak. Karena, akan muncul perasaan "saya lebih bos daripada si bos, karena saya juga pemilik perusahaan / tempat kerja ini.".

Perasaan ini biasanya muncul akibat pemahaman akan "rasa memiliki" yang salah kaprah. Apalagi, jika kesadaran, komitmen, dan respek, kalah oleh rasa "posesif" (yang sudah menjadi egosentrisme). Kalau sudah begini, orang yang memahami "rasa memiliki" secara parsial tak ada bedanya dengan "playboy" atau "playgirl". Karena, sisi egosentris mereka sudah terlalu tinggi.

Alhasil, respek, kesadaran, dan komitmen hanya menjadi kata-kata "pemanis" belaka. Tak heran, perjalanan yang dilalui tak akan pernah bebas dari gejolak, dan sering berakhir dengan "tidak baik-baik". Ibarat sebuah bangunan, semegah apapun bentuknya, kalau pondasinya sudah bobrok, jangan harap ia tahan di segala cuaca, apalagi tahan bencana.

Pada akhirnya, memiliki "rasa memiliki" bukan satu-satunya pedoman mutlak dalam bekerja. Karena, ia bisa merusak, terutama jika disalahartikan atau dipahami secara parsial. Lebih baik memiliki komitmen, kesadaran, dan semangat kepada apa yang kita kerjakan, tanpa lupa menaruh respek pada tempatnya, daripada hanya punya satu "rasa memiliki" yang salah kaprah.

Lagipula, sebagai manusia, suatu saat nanti, kita akan mengalami masa purnakarya. Kita tidak akan bekerja dan hidup selamanya di dunia ini. Semua yang kita miliki pada hakekatnya hanya titipan (bukan milik kita) dan pada saatnya nanti akan kembali ke asal. Siapa (merasa) memiliki, pada saatnya nanti ia akan kehilangan apa yang ia anggap sebagai "milik"nya.

Jadi, selama kita masih jadi manusia, apapun jenisnya, dan sekeras apapun pekerjaan kita, jangan lupa (untuk tetap) jadi manusia. Karena, untuk itulah kita hidup sebagai manusia di dunia ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun