Dalam beberapa tahun terakhir, "kewirausahaan" atau "entrepreneurship" menjadi satu tren gaya hidup yang membuat banyak orang terpikat. Dengan segala kelebihan yang ada padanya, berwirausaha seolah menjadi jalan keluar instan untuk membuat seseorang "naik kelas" menjadi seorang "bos", bukan lagi "pegawai". Tak heran, banyak orang berlomba-lomba merintis usaha sendiri, bahkan sampai berani berutang begitu banyak.
Sayangnya, antusiasme ini kerap menghadirkan satu situasi "salah kaprah". Karena, banyak orang berlomba-lomba menjadi wirausahawan/wati, tanpa pemahaman yang cukup, terkait apa yang sebenarnya ingin atau sedang mereka kerjakan.
Parahnya, apa yang mereka kerjakan justru merepresentasikan seberapa besar ego mereka. Tak heran, kita kadang melihat para "entrepreneurship-enthusiast" atau "so-called entrepreneur" ini merendahkan para "pekerja kantoran", "karyawan", atau sejenisnya, tanpa melihat diri sendiri. Alhasil, "entrepreneurship" berubah wujud sejenak menjadi "egopreneurship"
Padahal, sehebat apapun kemampuan seorang "entrepreneur", mereka tetap butuh bantuan orang-orang yang bersedia menjadi anggota tim kerja. Ya, tugas seorang "entrepreneur" yang baik tak hanya  tampil di atas panggung atau berpose depan kamera. Mereka juga dituntut untuk bisa mendelegasikan wewenang, dan mengkoordinir tim kerjanya.
Tanpa kemampuan itu, mereka hanya seorang pembual, yang hanya menjual cerita motivasi kosong dari panggung ke panggung. Di sini, atraksi badut sirkus atau "stand up comedy" jelas jauh lebih layak tonton, daripada cerita sukses rasa pepesan kosong.
Dari sudut pandang eksternal, seorang "entrepreneur" yang baik harus mampu melihat tren, bahkan menciptakan tren mereka sendiri. Mereka juga dituntut mampu memilah mana yang baik dan buruk buat usaha mereka.Â
Tanpa kemampuan itu, secantik atau seganteng apapun penampilan mereka, badut maskot masih lebih baik dan lebih elok dilihat, dibanding "so-called entrepreneur", yang hanya jadi "badut maskot tetap" perusahaan.
Di sisi lain, seorang "entrepreneur" yang baik harus memahami esensi kewirausahaan yang utama, yakni "menciptakan nilai tambah yang dapat  memberdayakan diri sendiri dan sesama, tanpa melupakan kodrat sebagai manusia". Meski digaji, karyawan juga manusia. Mesin saja rusak jika dipaksa bekerja nonstop, apalagi manusia.
Dalam artian, mereka bisa memahami, kapan dan dimana urusan pekerjaan dan kehidupan pribadi diletakkan pada tempatnya. Pemahaman inilah salah satu kunci, mengapa level negara-negara maju masih sulit kita kejar. Karena, mereka punya keseimbangan hidup yang baik sebagai dasarnya.
Kita tentu ingat, Tuhan sudah menciptakan segala sesuatunya dengan begitu seimbang. Ada gelap ada terang, ada laki-laki ada perempuan. Kita hanya perlu mengikuti semua perbedaan ini, karena perbedaan ada supaya keseimbangan dalam hidup tetap terjaga, bukan untuk diseragamkan, apalagi dilawan.