"This Is Anfield". Kalimat tersebut terpajang di lorong menuju lapangan Stadion Anfield, kandang Liverpool. Tentunya, bukan sebatas gaya-gayaan, tapi ini adalah salah satu cara memberi semangat kepada para pemain Liverpool, sekaligus memberi "teror halus" kepada tim tamu, sebelum menghadapi atmosfer spesial khas stadion Anfield, termasuk di ajang Liga Champions Eropa, ajang dimana Liverpool kerap tampil luar biasa, khususnya di Anfield.
Tak heran, muncul sebutan "The European Nights In Anfield", untuk mendeskripsikan atmosfer spesial ini. Â Di era kekinian, atmosfer spesial khas stadion Anfield dan aura magis Liverpool di Liga Champions seolah terlahir kembali di bawah arahan Jurgen Klopp, setelah sempat "hilang" beberapa tahun sebelumnya.
Terkini, atmosfer spesial khas Stadion Anfield, dan kalimat "This Is Anfield" turut menjadi saksi malam "Red-montada", kala Si Merah berhasil lolos ke babak final Liga Champions musim ini, setelah menghajar Barcelona dengan skor telak 4-0, Rabu, (8/5).
Padahal, Liverpool tampil tanpa diperkuat Mohamed Salah dan Roberto Firmino yang sedang cedera. Ditambah lagi, Liverpool mengawali laga ini dalam posisi tertinggal, setelah sebelumnya kalah 0-3 kala bertanding di Stadion Nou Camp pekan lalu.
Dengan situasi serba tak ideal ini, tentunya Barca dan para Cules akan tersenyum lebar. Menghadapi Liverpool yang dengan kekuatan penuh saja bisa menang 3-0. Menghadapi Liverpool yang compang-camping? Ah, sepertinya final sudah di depan mata.
Tapi, realitas kadang bisa lebih kejam dari harapan, dan itulah yang terpaksa harus dialami Lionel Messi dkk di Anfield. Alih-alih mengamankan tiket ke final, Barca harus menelan pil pahit, setelah sepasang gol Georginio Wijnaldum dan dwigol Divock Origi tak mampu dibalas sama sekali oleh Barca.
Entah motivasi macam apa yang disuntikkan Jurgen Klopp ke anak asuhnya, dan entah tambahan kekuatan macam apa dari Kopites yang membuat Liverpool tampil ganas, meski tanpa kekuatan penuh.Â
Yang jelas, mereka menunjukkan keinginan sangat besar untuk lolos ke final, meski awalnya terlihat mustahil, bahkan kemungkinan ini sempat ditertawakan banyak pihak, karena mirip mimpi di siang bolong. Apalagi lawan yang dihadapi adalah Barcelona, dengan Lionel Messi sebagai kaptennya.
Meski begitu, penampilan luar biasa Liverpool di Anfield sukses menciptakan sebuah "comeback" monumental. Mereka bermain seolah tak ada lagi hari esok, dan tahu persis bagaimana cara "memukul" Barca secara telak. Kekalahan di leg pertama benar-benar dilupakan, sekaligus menjadi satu pelajaran penting bagi Virgil Van Dijk dkk.
Terbukti, tiga dari empat gol Liverpool tercipta di menit awal masing-masing babak, satu lewat Divock Origi di awal babak pertama, dan dua lewat aksi Giorginio Wijnaldum. Tiga gol ini praktis "membunuh" Barca, sebelum akhirnya gol kedua Origi benar-benar menamatkan asa "Treble Winner" Barca musim ini.
Di sisi lain, kekalahan memalukan di Anfield ini justru menunjukkan seberapa rapuhnya El Barca di fase krusial. Memang, mereka masih punya Lionel Messi yang sebenarnya tak tampil buruk di Anfield. Tapi, penampilan ciamik Alisson di bawah mistar, dan koordinasi apik lini belakang Liverpool sukses membuat Si Kutu bak "Wi-Fi" yang sinyalnya sangat bagus di Nou Camp, tapi "susah sinyal" di Anfield.