Judul di atas mungkin terasa sangat sarkastik, karena saya justru mensyukuri kegagalan Timnas Indonesia U-23 dalam ajang kualifikasi Piala Asia U-23, yang sekaligus menjadi ajang kualifikasi cabor sepak bola Olimpiade Tokyo 2020, karena tim juara sampai peringkat ketiga Piala Asia U-23 akan menjadi wakil benua Asia di Olimpiade 2020. Tapi, saya harus jujur mengatakan ini, karena Tim Garuda Muda (dan kita semua) justru mendapat pelajaran teramat mahal dari sini.
Kegagalan Timnas U-23 di ajang kualifikasi Piala Asia U-23 sendiri dipastikan terwujud, setelah Witan Sulaeman dkk kalah 0-1 atas Vietnam, tim tuan rumah kualifikasi, Minggu, (24/2) lalu. Gol tunggal kemenangan Vietnam di laga ini dicetak oleh Trieu Viet Hung di masa injury time babak kedua. Di laga sebelumnya, Timnas U-23 takluk 0-4 atas Thailand.
Jika melihat jalannya pertandingan, sebenarnya pertandingan ini cukup berimbang, karena jual-beli serangan terjadi di sepanjang laga. Tapi, kelengahan Timnas U-23 di menit-menit akhir pertandingan menjadi pembeda. Kekalahan ini semakin lengkap, setelah Marinus Wanewar diganjar kartu merah oleh wasit, akibat bersitegang dengan pemain Vietnam di akhir laga. Alhasil, partai terakhir melawan Brunei Darussalam hanya tinggal formalitas.
Kembali ke judul tulisan ini, kekalahan tim asuhan Indra Sjafri kali ini mungkin agak sulit diterima begitu saja oleh publik sepak bola nasional, karena mereka belum lama ini menjadi juara Piala AFF U-22 di Kamboja. Tapi, justru inilah yang menjadi alasan utama kegagalan mereka di Vietnam.
Dari tahap persiapan saja, semua terkesan seadanya. Capaian juara di Kamboja membuat Timnas U-23 seperti mabuk kepayang oleh banyaknya pujian setinggi langit dari publik sepak bola nasional, belum lagi, mereka diekspos secara berlebihan oleh media. Alhasil, mereka menjadi tidak fokus pada pertandingan. Catatan nirgol dan kebobolan lima kali dalam dua laga menjadi buktinya.
Secara gamblang, kegagalan ini juga membuktikan, Timnas kita mulai tertinggal di level Asia Tenggara. Harus diakui, untuk saat ini, ada perbedaan kualitas antara tim inti Timnas, dengan Thailand dan Vietnam (yang menampilkan kekuatan penuh).
Oke, kita bisa saja beralibi, dengan materi pemain Timnas yang hampir sama persis, Timnas sebelum ini pernah mengalahkan Thailand dan Vietnam di ajang Piala AFF U-22. Tapi, tim yang kita hadapi saat itu hanya skuad eksperimental. Itu pun, kita menang dengan susah payah. Terbukti, mereka tampil dengan komposisi pemain yang banyak berbeda di kualifikasi Piala Asia U-23, dan Timnas gantian mengalami kekalahan atas mereka.
Dari sini saja, perbedaan level itu sudah terlihat jelas. Jadi, Piala AFF U-22 sebenarnya tak lagi bisa dijadikan parameter, apalagi dibanggakan secara berlebihan. Karena, ajang ini hanya menjadi arena eksperimen buat Thailand dan Vietnam, yang sama-sama tak menampilkan kekuatan penuh. Sementara itu, Timnas sudah menampilkan kekuatan penuh, dengan hanya sedikit perubahan materi pemain setelahnya.
Memang, mereka sukses meraih trofi di Kamboja. Tapi, capaian ini terbukti bukan modal ideal. Karena level Asia Tenggara masih tergolong "level bawah" di benua Asia. Perbedaan level inilah, yang belakangan mulai coba dikejar oleh Thailand dan Vietnam, dengan keberhasilan mereka masing-masing menjadi perdelapanfinalis dan perempatfinalis Piala Asia 2019. Tim lain yang mulai naik level adalah Filipina, yang baru saja mencatat debut di Piala Asia 2019, dan mulai rajin menjadi tim semifinalis di Piala AFF.
Kemajuan ini jelas berbeda dengan persepakbolaan nasional, yang masih saja berkutat dengan segala kebobrokan yang ada. Parahnya, kita terlalu cepat puas dengan prestasi yang (sebetulnya) belum seberapa. Sikap ini terbukti menjadi "racun mematikan", yang juga menunjukkan kita belum punya kematangan mental bertanding, apalagi kemampuan bersaing di level Asia.
Di sini, kita tak perlu bicara soal level dunia, karena di level Asia saja kita masih belum bisa bersaing, apalagi dunia. Tak usah juga kita bicara soal potensi pemain kita, karena tata kelola persepakbolaan nasional masih sangat bobrok di sana-sini. Sebesar apapun potensi yang ada, selama itu tak dibina dengan baik, sama saja bohong.