Bicara soal PSSI, khususnya dalam satu dekade terakhir, kata "revolusi" seolah menjadi satu jargon wajib yang melekat pada PSSI. Siapapun ketua umumnya, saat mulai bertugas, ia selalu diharapkan mampu merevolusi PSSI, sekaligus mewujudkan harapan besar publik sepak bola nasional yang haus akan prestasi (baca: trofi juara). Lucunya, setiap kali sang ketua umum dianggap tak becus, kata "revolusi" berbalik menjadi sebuah jargon kampanye, untuk bisa segera menurunkan sang ketua umum.
Sebagai contoh, saat publik sepak bola nasional mengharapkan Nurdin Halid turun dari jabatannya, kata "revolusi" menjadi jargon wajib, yang tak henti disuarakan. Khususnya, setelah kegagalan Timnas Indonesia meraih trofi Piala AFF 2010. Akhirnya, setelah melalui berbagai aksi protes, baik secara langsung (lewat aksi demo) dan kampanye lewat media sosial, Nurdin Halid akhirnya turun dari jabatannya, dan digantikan oleh Djohar Arifin Husin tahun 2011.
Djohar Arifin Husin yang naik sebagai pengganti Nurdin Halid pun diharapkan bisa merevolusi PSSI, yang dinilai sudah bobrok. Hal ini sebenarnya sudah coba dilakukan Djohar, dengan membersihkan unsur "muka lama" yang dianggap bermasalah. Sayang, upaya ini mendapat retensi dari para "muka lama" tersebut, dengan membentuk organisasi tandingan dalam wujud KPSI. Alhasil, PSSI sempat terbelah menjadi dua, walaupun KPSI sebenarnya bersifat ilegal.
Akibatnya, kata "revolusi" berbalik menjadi upaya untuk menurunkan Djohar Arifin Husin dari kursi ketua umum PSSI. Karena, ia dianggap gagal dalam memimpin PSSI. Untunglah, Djohar akhirnya dapat turun saat masa jabatannya berakhir tahun 2015, setelah melalui berbagai gonjang-ganjing dan drama rekonsiliasi.
Setelahnya, jargon "revolusi PSSI" kembali bergaung, saat pemerintah (melalui Kemenpora) membekukan PSSI tahun 2015 silam. Jargon ini kembali menjadi senjata utama publik sepak bola nasional, agar sepak bola Indonesia dapat segera berbenah, dan bebas dari jeratan sanksi FIFA, yang didapat karena pembekuan PSSI oleh Kemenpora.
Memang, Indonesia akhirnya bebas dari sanksi FIFA, dan memunculkan sosok Edy Rahmayadi sebagai ketua umum PSSI pada tahun 2016. Harapan akan terwujudnya sebuah "revolusi" pun kembali muncul, karena ketua umum PSSI kali ini adalah seorang jenderal.
Tapi, situasinya tetap sama. Sang ketua umum PSSI kembali didesak untuk turun, karena dianggap tak becus. Desakan itu semakin kuat, setelah Edy Rahmayadi merangkap jabatan sebagai Gubernur Sumatera Utara, dan Timnas Indonesia gagal total di Piala AFF 2018.
Memang, Edy sendiri akhirnya memutuskan turun, pada kongres PSSI, 20 Januari 2019 silam. Tapi, kata "revolusi" kembali digaungkan publik sepak bola nasional, karena pengganti sementara Edy Rahmayadi adalah Djoko Driyono, yang dinilai tak lebih buruk.
Jika melihat situasinya, kampanye "revolusi PSSI" sebenarnya adalah sebuah "lagu lama kaset kusut", yang terus saja diulang. Ketua Umum PSSI memang selalu bisa diganti lewat kampanye ini. Tapi, situasi tetap sama saja: organisasinya salah urus, liganya amburadul, dan timnas selalu meraih gelar juara di hati publik, bukan di atas lapangan. Miris.
Dari sini saja, kita seharusnya menyadari, permasalahan utama PSSI bukan terletak pada ketuanya, tapi pada organisasi secara keseluruhan. Andai ketuanya malaikat atau setan sekalipun, PSSI tetap akan lekat dengan masalah, karena memang sudah sangat bobrok. Ibarat sebuah mobil, PSSI adalah sebuah mobil yang sudah rusak parah, dengan sang ketua umum sebagai sopirnya.
Logikanya, supaya mobil itu dapat berfungsi dengan baik, maka mobil itu harus diperbaiki. Otomatis, untuk memperbaikinya, kita perlu mengganti bagian mobil yang rusak. Atau, jika sudah tak bisa diperbaiki, kita perlu mencari mobil baru, bukan mencari sopir baru.
Hal inilah, yang seharusnya perlu dilakukan, untuk mewujudkan revolusi PSSI secara nyata. Untuk itu, perlu ada perubahan pola pikir, bahwa yang sebenarnya bermasalah di PSSI adalah organisasinya secara keseluruhan, Â bukan hanya ketuanya. Masalah inilah yang menjadi penyebab utama progres sepak bola nasional jalan di tempat, bahkan mulai tertinggal di level Asia Tenggara.
Perubahan radikal di PSSI sendiri sebenarnya sudah sangat mendesak, karena PSSI saat ini sudah usang. Saat didirikan pada tahun 1930, PSSI menjadi wadah pemersatu bangsa, untuk menentang penjajah Belanda lewat olahraga, dan diisi oleh sosok berdedikasi tinggi. Tapi, semakin kesini, PSSI justru menjadi sumber masalah buat sepak bola nasional. Jelas, PSSI perlu pembaruan total.
Tapi, berhubung cara pembekuan PSSI terbukti tak efektif, kita semua bisa berharap banyak pada Satgas Antimafia Bola, yang saat ini sedang menangani kasus dugaan pengaturan skor di sepak bola nasional. Dari sinilah, masalah kebobrokan PSSI dapat dibersihkan, tanpa harus menghadapi ancaman sanksi FIFA.
Jika sudah bersih, kita bisa berharap, PSSI di masa depan bisa lebih baik, dan diisi oleh para profesional di bidangnya, bukan para mafia. Dengan demikian, sepak bola nasional bukan lagi menjadi "biang kerok", dan kita tak perlu lagi memutar sebuah "lagu lama kaset kusut" berjudul "Revolusi PSSI".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H