Bicara soal Liga Indonesia, salah satu hal yang belakangan menjadi satu warna tersendiri adalah kehadiran pemain naturalisasi. Tren ini mulai merebak sejak Piala AFF 2010, kala Timnas Indonesia diperkuat oleh Cristian Gonzales (kelahiran Uruguay) dan Irfan Bachdim (kelahiran Belanda).
Keduanya menjadi katalisator dari munculnya pemain-pemain naturalisasi lainnya, seperti Bio Paulin (Kamerun), Greg Nwokolo (Nigeria), Ilija Spasojevic (Montenegro), Kim Jeffrey Kurniawan (Jerman) Stefano Lilipaly (Belanda), Beto Goncalves (Brasil), dan Esteban Vizcarra (Argentina).
Umumnya, para pemain naturalisasi ini dinaturalisasi menjadi WNI, karena mereka memang sudah memenuhi salah satu dari dua faktor dasar. Pertama, mereka punya garis keturunan Indonesia (seperti pada kasus Irfan Bachdim, Kim Jeffrey Kurniawan, dan Stefano Lilipaly). Kedua, mereka sudah cukup lama tinggal di Indonesia, dan menikah dengan WNI (seperti pada kasus Cristian Gonzales, Esteban Vizcarra, dan Ilija Spasojevic).
Memang, ini adalah satu fenomena wajar di sepak bola modern. Karena, negara-negara sekaliber Italia, Jerman, Spanyol dan Portugal saja pernah (atau masih) diperkuat pemain naturalisasi. Italia pernah diperkuat Mauro Camoranesi (kelahiran Argentina), Jerman pernah diperkuat Cacau (Brasil), Spanyol punya Thiago Alcantara dan Diego Costa (Brasil), dan Portugal punya Deco dan Pepe (Brasil). Mereka umumnya dinaturalisasi, karena faktor garis keturunan, atau sudah tinggal cukup lama di negara tersebut.
Secara teknis, kehadiran para pemain naturalisasi ini menghadirkan sebuah nilai tambah. Karena, mereka dinilai punya kemampuan memadai. Secara khusus, untuk kasus di Indonesia, para pemain naturalisasi ini dinilai punya kemampuan diatas rata-rata pemain lokal, dan memang ingin membela Timnas Indonesia. Jadi, dalam hal semangat saat berseragam timnas, mereka tak perlu diragukan lagi.
Bagi timnas sendiri, kehadiran pemain naturalisasi juga memberi dimensi baru dalam permainan timnas. Ada yang jago dalam duel bola atas, ada yang staminanya awet, ada juga yang bisa dimainkan di beberapa posisi berbeda.
Kelebihan inilah, yang membuat klub-klub di Indonesia kesengsem dengan pemain naturalisasi. Tak heran, pemain naturalisasi umumnya punya standar gaji cukup tinggi, setara dengan pemain lokal berlabel bintang, atau pemain asing. Pemain naturalisasi pun kerap menjadi pilihan utama bagi tiap klub untuk menambah kekuatan tim. Jadi, wajar jika banyak klub yang berlomba-lomba merekrut pemain naturalisasi, semakin banyak yang didapat, maka akan semakin bagus.
Tapi, disadari atau tidak, kebiasaan merekrut pemain naturalisasi sebanyak mungkin justru bisa berbahaya buat klub, baik dari segi finansial maupun teknis. Dari segi finansial, tingginya standar gaji pemain naturalisasi membuat beban gaji klub akan semakin besar. Sementara itu, dari segi teknis, jika jumlah pemain naturalisasi yang direkrut terlalu banyak, maka itu akan menutup ruang buat pemain muda untuk berkembang. Dalam jangka panjang, ini bisa menggangu proses "team development" yang sedang berjalan di level usia muda.
Berangkat dari masalah ini, maka perlu ada regulasi yang mengatur tentang batasan jumlah pemain naturalisasi dalam satu tim. Misalnya, di Liga 1 setiap tim maksimal hanya boleh diperkuat oleh dua pemain naturalisasi. Sementara itu di Liga 2 dan Liga 3, setiap tim maksimal hanya boleh diperkuat satu pemain naturalisasi. Dengan catatan, klub tersebut memang punya modal finansial memadai.
Bukan bermaksud untuk membatasi ruang gerak para pemain naturalisasi, aturan semacam ini perlu diterapkan, agar tak muncul ketimpangan kekuatan yang terlalu besar pada klub-klub peserta. Dari sinilah, klub-klub di Indonesia bisa tetap bersaing, tanpa melupakan pentingnya pembinaan pemain muda. Alhasil, regenerasi pemain pun tetap berjalan lancar.
Secara finansial, regulasi "kuota pemain naturalisasi" ini bisa menjadi alat kontrol buat klub, untuk mulai belajar mengelola keuangan secara cermat, layaknya klub profesional. Hal ini penting, supaya gaji pemain tak tertunggak, dan klub tak macet di tengah jalan akibat kehabisan dana.