Dalam beberapa pekan terakhir, bermunculan berita terkait kasus pengaturan skor di sepak bola nasional. Berawal dari kalimat kode "wartawan baik, timnas baik", yang dilontarkan Edy Rahmayadi, sang Ketum PSSI, masalah pengaturan skor di sepak bola nasional pun sedikit demi sedikit mulai terkuak. Pembentukan Satgas Antimafia Bola oleh Polri, yang dilanjutkan dengan penangkapan sejumlah pihak yang diduga terlibat, sukses membuat kasus ini bergulir bak bola panas.
Tapi, kalau melihat situasinya, kasus pengaturan skor sebenarnya sama sekali tak mengejutkan. Terutama jika melihat satu "budaya negatif" di sepak bola nasional, yakni kebiasaan klub menunggak gaji pemain. Meski ada klub yang tak menunggak gaji pemain, gaya kerja semi-profesional (kalau tak mau dibilang amatir) kebanyakan klub di Liga Indonesia, membuat masalah tunggakan gaji pemain masih menjadi hal biasa di sepak bola nasional.
Oke, klub biasanya akan berdalih, beban biaya operasional mereka terlalu berat. Tapi, di awal musim, mereka justru jor-joran dalam hal belanja pemain, karena membidik target prestasi tinggi. Ini jelas bukan gaya manajemen yang baik, layaknya sebuah klub profesional
Di sinilah, tercipta satu celah masuk bagi para mafia bola, untuk bisa mengatur skor. Dengan iming-iming segepok uang dalam jumlah besar, mereka datang bak malaikat penyelamat buat klub yang sedang butuh uang, dan para pemain yang gajinya tertunggak. Apa boleh buat, sportivitas terpaksa dikorbankan, demi menjaga asap dapur tetap mengepul.
Karena situasi semacam ini banyak dialami klub-klub di Indonesia, mafia bola pun leluasa merajalela. Andai klub sudah lebih profesional, praktek pengaturan skor semacam ini tentu tak akan mudah terjadi.
'Berangkat dari masalah inilah, klub Liga 1 atau kasta dibawahnya perlu mulai menerapkan prinsip profesional murni. Misalnya, dengan mempekerjakan orang yang kompeten di bidangnya, dalam menjalankan roda organisasi klub. Supaya, kondisi keuangan klub bisa lebih sehat.
Selain itu, klub juga perlu membudayakan transparansi, misalnya dengan menerbitkan laporan keuangan secara berkala. Supaya, suporter bisa mengetahui, bagaimana kondisi keuangan klub kesayangannya, dan bisa ikut membantu jika ternyata klub sedang mengalami krisis keuangan. Bagi pihak sponsor, kondisi keuangan klub yang sehat akan menjadi satu nilai tambah. Semakin sehat kondisinya, semakin banyak pula dana yang masuk, karena potensi keuntungan yang didapat cukup besar.
Geger mafia bola belakangan ini memang melengkapi kebobrokan yang sudah ada di sepak bola nasional. Tapi, seharusnya ini bisa menjadi momentum untuk sepak bola nasional mulai berbenah dan menerapkan budaya profesional secara utuh. Supaya, satu celah masuk bagi mafia bola minimal bisa ditutup.
Jika PSSI dan semua pihak terkait setelah ini masih tak serius, agaknya kita akan bersiap melihat sepak bola kita akan jadi bahan tertawaan. Karena, sepak bola nasional bukan lagi menjadi sebuah tontonan olahraga, tapi sebuah tontonan opera sabun, dengan mafia bola sebagai sutradaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H