Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Setelah Gaduh Mafia Bola Itu Mengemuka

5 Desember 2018   06:44 Diperbarui: 5 Desember 2018   08:27 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa hari terakhir, kegaduhan soal mafia bola di sepak bola nasional merebak. Berawal dari pernyataan nyleneh Ketum PSSI, Edy Rahmayadi yakni, "Wartawan harus baik. Jadi kalau wartawannya baik, timnasnya baik.", Isu seputar dugaan keterlibatan mafia bola di sepak bola nasional bergulir menjadi bola panas, setelah diangkat ke dalam sebuah acara talk show di televisi swasta nasional. Apalagi, setelah salah satu narasumber di acara talk show tersebut menyebutkan nama terduga gembong mafia bola nasional.

Alhasil, publik kini menjadi lebih sensitif pada kejadian janggal dalam sebuah pertandingan, entah di Liga 1 atau kasta dibawahnya. Bahkan, ada juga suporter yang bereaksi keras, atas keputusan wasit yang dianggap kurang adil. Misalnya, aksi menyalakan flare yang dilakukan oleh suporter Bali United saat bersua Persija, chant "Mafia...Mafia... Mafia!!!", yang dikumandangkan oleh suporter PSM Makassar, setelah bermain imbang tanpa gol melawan Bhayangkara FC, atau aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum suporter Persita Tangerang, saat takluk 0-2 atas Kalteng Putra, di partai perebutan tempat ketiga Liga 2.

Sebenarnya, masalah ini bukan hal baru di sepak bola nasional. Meski kebenaran soal masalah mafia bola tak pernah sepenuhnya terungkap, ada satu celah yang membuatnya sangat mungkin terjadi, yakni bobroknya tata kelola sepak bola nasional. Sudah jadi rahasia umum bahwa sepak bola nasional tak kunjung lepas dari masalah klasik macam tunggakan gaji pemain, anarkisme suporter, dan ketidakbecusan PSSI di berbagai hal, termasuk dalam hal transparansi.

Kebobrokan inilah yang membuat mafia bola bisa masuk dan merajalela sejak lama. Ruang gerak mereka makin leluasa, karena kultur organisasi PSSI buruk, tapi sulit disentuh oleh pemerintah, berkat adanya Statuta PSSI dan Statuta FIFA, yang selama ini selalu jadi tameng perlindungan.

Akibatnya, PSSI tenang-tenang saja tiap kali kegaduhan publik sepak bola nasional mengemuka, bahkan meski didemo suporter. Pihak yang diduga sebagai mafia pun seolah menjadi makhluk astral: antara ada dan tiada. Andai pemerintah atau pihak berwajib bertindak tegas, bayangan sanksi FIFA bisa mengancam, seperti yang sempat menimpa Indonesia beberapa waktu lalu, akibat pembekuan PSSI oleh Kemenpora.

Jadi, selama PSSI dan pihak terkait tak bisa disentuh, kegaduhan publik sepak bola nasional belakangan ini bisa jadi angin lalu seperti yang sudah-sudah. Lalu, bagaimana cara agar kegaduhan publik ini menjadi berfaedah?

Salah satu cara efektif adalah melakukan aksi boikot secara damai, misalnya dengan mengosongkan stadion sebelum laga berakhir. Selain tak merugikan keuangan klub, aksi ini bisa menjadi tamparan keras buat PSSI, yang selama ini membanggakan tingginya animo suporter kita.

Dari segi regulasi, aksi boikot semacam ini juga bukan sebuah pelanggaran, karena sifatnya tidak merusak. Tentunya ini sangat berbeda dengan aksi lempar botol atau menyalakan flare, yang bisa menuai sanksi berat.

Untuk aksi lebih ekstremnya, kita bisa melakukan boikot, dengan cara tak datang ke stadion, tiap kali Timnas Indonesia bertanding. Supaya, PSSI pelan-pelan bisa menyadari, apa harapan publik atas mereka, siapa tahu mereka mau berubah menjadi lebih baik.

Jika ternyata masalah ini tak bisa dibereskan PSSI, maka pemerintah dan pihak berwajib harus segera bertindak. Apalagi, jika ada indikasi tindak pelanggaran hukum di sana. Mengingat sudah bobroknya PSSI, andai FIFA kembali menjatuhkan sanksi buat Indonesia di masa depan, hukuman ini seharusnya layak disyukuri. Karena, ini bisa menjadi kesempatan baik untuk membersihkan mafia bola, dan memutus mata rantai regenerasi kepengurusan PSSI, yang sejak lama banyak dihuni orang-orang yang tidak kompeten.

Berani coba (lagi), pemerintah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun