Pada Rabu, (5/9) lalu, Letjen (Purn) Edy Rahmayadi resmi dilantik Presiden Jokowi sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara periode 2018-2023. Lazimnya, dalam situasi begini, ucapan selamat akan didapat. Tapi, hal itu tidak terjadi pada eks Pangkostrad ini. Malah, ia kebanjiran kritik dari pecinta sepak bola nasional.
Gelombang kritik itu didapat Edy, karena ia juga masih menjadi ketua umum PSSI. Selain itu, publik pecinta sepak bola nasional kompak mendesak Edy, untuk segera mundur dari jabatannya sebagai ketua umum PSSI. Tentunya, ini tak lepas dari kekhawatiran publik sepak bola nasional, atas jabatan politik yang kini disandang Edy Rahmayadi.
Sebelumnya, situasi rangkap jabatan pernah dialami Edy, saat dirinya menjabat sebagai Pangkostrad sekaligus ketua umum PSSI di awal masa tugasnya di PSSI. Tapi, ini tak menjadi masalah, karena sebelumnya posisi ketum PSSI pernah dijabat kalangan militer, seperti Maulwi Saelan (eks kiper timnas Indonesia dan komandan Resimen Tjakrabirawa, kini Paspampres, tapi berstatus nonaktif saat menjadi ketum PSSI), Kardono (berpangkat Letjen TNI AU saat pensiun), dan Agum Gumelar (terakhir berpangkat Jenderal saat pensiun). Jadi, ini bukan hal baru bagi PSSI.
Tapi, situasi Edy Rahmayadi saat ini jelas rawan konflik kepentingan. Karena, ia akan memimpin sebuah provinsi. Padahal, PSSI adalah federasi sepakbola tingkat nasional, yang mencakup semua provinsi di Indonesia. Tak heran, desakan agar Edy turun dari jabatan ketum PSSI makin kuat.
Meski tak dilarang dalam statuta PSSI, situasi Edy Rahmayadi saat ini termasuk hal yang dilarang dalam statuta FIFA. Jika Edy tetap kukuh ingin rangkap jabatan, dan FIFA berani bertindak tegas menegakkan statutanya, Indonesia bisa terkena sanksi FIFA. Seperti diketahui, FIFA melarang keras masuknya segala hal terkait politik di sepak bola.
Sekilas, tak ada pilihan lain bagi Edy untuk segera mundur dari PSSI. Tapi, sejarah sepak bola nasional membuktikan, ada satu celah, yang bisa saja dimanfaatkan Edy, untuk bisa merangkap jabatan. Celah itu adalah riwayat Nurdin Halid (ketua umum PSSI periode 2003-2011), saat masih menjabat sebagai ketua umum PSSI.
Seperti diketahui bersama, saat memimpin PSSI, Nurdin Halid juga sempat rangkap jabatan, dengan menjadi anggota DPR RI (periode 1999-2004). Ditambah lagi, Nurdin juga sempat memimpin PSSI dari balik jeruji besi, akibat terjerat kasus korupsi. Meski didesak berbagai pihak untuk segera mundur, nyatanya Nurdin tetap awet memimpin PSSI sampai tahun 2011. Solidnya dukungan untuk Nurdin di internal PSSI, plus ketidaktegasan sikap FIFA, membuat Nurdin bagai tak tersentuh.
Situasi rangkap jabatan Nurdin Halid inilah, yang agaknya 'menginspirasi' Edy Rahmayadi, untuk berani merangkap jabatan. Tapi, berhubung ini tak sesuai dengan statuta FIFA, otomatis timnas Indonesia berada di bawah ancaman kevakuman, terutama jika FIFA berani bersikap tegas. Indonesia hanya akan terhindar dari sanksi FIFA, andai FIFA ternyata tak tegas, atau Edy Rahmayadi bersedia untuk turun tahta dari kursi empuk ketua umum PSSI.
Tentunya, kita sama-sama berharap, Indonesia tak kembali disanksi FIFA, andai Edy Rahmayadi tetap bersikeras merangkap jabatan, karena itu dapat menggangu progres pembangunan sepak bola nasional. Tapi, jika ternyata FIFA memberi sanksi, maka inilah saat yang tepat, untuk segera meng-install ulang dan me-restart sepak bola nasional, yang memang sudah lama bergelut dengan berbagai masalah.
Menarik ditunggu, bagaimana kelanjutan kiprah Edy Rahmayadi di PSSI, setelah dirinya resmi menjadi Gubernur Provinsi Sumatera Utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H