Judul di atas mungkin agak membingungkan bagi sebagian pembaca, sekaligus mudah dimengerti bagi sebagian pembaca lainnya. Tapi, untuk menyamakan persepsi, kita akan menggunakan definisi secara umum, dari istilah "lingkaran setan". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lingkaran setan didefinisikan sebagai "keadaan atau masalah yang seolah-olah tidak berujung pangkal, sulit dicari penyelesaiannya; proses atau lingkaran tidak berujung pangkal".
Dalam konteks sepak bola nasional, terutama di level tim nasional, disadari atau tidak, jika melihat perjalanan kiprah timnas Indonesia, kita seperti melihat sebuah siklus "lingkaran setan". Celakanya, siklus ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun terakhir.
Siklus ini dimulai dari penunjukan pelatih baru timnas oleh PSSI. Biasanya, PSSI akan mematok target prestasi tinggi, dengan orientasi jangka pendek. Target prestasi ini biasanya muncul, dengan melihat bagaimana harapan publik sepak bola nasional. Biasanya, publik mengharapkan mengharapkan prestasi terbaik buat timnas. Di sini, kehadiran sosok pelatih baru, dengan sistem permainan yang juga baru, menjadi simbol harapan baru publik sepak bola nasional, akan era baru yang berprospek cerah.
Harapan itu bertambah besar, saat kerangka tim baru dibentuk. Adanya framing opini soal "pemain kita punya potensi", membuat siapapun pelatih timnas, akan menemui kesulitan, terutama dalam mengelola harapan besar publik dan media.Â
Padahal, ini jelas opini yang menyesatkan, karena potensi yang ada tak  pernah dibina dengan baik, serius pun belum. Di sini, tekanan kerja sebagai pelatih timnas Indonesia, menjadi sebuah beban psikologis tersendiri. Karena, besarnya harapan yang ada, membuat pekerjaan melatih timnas Indonesia terasa seperti melatih timnas Brasil atau Argentina.
Memang, dari segi kualitas, pemain kita belum selevel dengan Tim Samba atau Tim Tango. Tapi, harapan dan opini publik membuat kita seolah terlihat setara dengan kedua tim jagoan Amerika Selatan ini.Â
Tentunya, ini bukanlah satu hal yang pantas, jika dilihat secara objektif. Karena, kita masih belum serius membina pemain muda, dan tata kelola sepak bola nasional masih amburadul. Lucunya, PSSI justru kerap menunggangi harapan besar publik, dan menjadikannya tameng saat prestasi timnas gagal memenuhi ekspektasi.
Siklus ini lalu berlanjut, dengan harapan yang makin besar, terutama saat timnas menang. Publik dan media kompak membanggakan kemenangan timnas, meski kadang terlalu berlebihan. Ironisnya, sikap berlebihan ini, justru kerap menjadi bumerang saat timnas kalah.Â
Meski tak semuanya, banyak yang tanpa ba-bi-bu menghujat habis penampilan Timnas, yang dalam sekejap berubah status, dari "sang primadona" menjadi "musuh  bersama". Ada juga yang menghibur diri, dengan menyebut "timnas kalah dengan kepala tegak", atau memunculkan narasi yang menyalahkan wasit, atau pemain lawan, sebagai kambing hitam.
Sedihnya, situasi semacam ini biasanya direspon PSSI, dengan menyalahkan pelatih, yang dinilai gagal memenuhi ekspektasi. Padahal, sehebat apapun pelatihnya, jika kualitas pemain yang ada kurang memadai, kehebatan itu akan percuma, karena ia justru akan terlihat "bodoh" di mata publik. Apalagi, jika durasi kerjanya singkat, hanya satu-dua tahun saja.
Siklus ini lalu berlanjut, dengan kembali ke titik awal: mengganti pelatih, dan memunculkan harapan baru untuk jangka pendek. Sementara itu, harapan besar selalu menghantui. Padahal, timnas Indonesia sebetulnya belum cukup kapabel, untuk dibebani target prestasi begitu tinggi. Terus seperti itu, sungguh menyedihkan.Â