Pada bulan Agustus dan Oktober 2018 mendatang, akan dihelat Asian Games 2018, dengan sepak bola putra sebagai salah satu cabor yang dipertandingkan, dan Piala Asia U-19. Kebetulan, Indonesia menjadi tuan rumah kedua event ini, dengan menampilkan timnas Indonesia U-23 dan U-19. Tentu saja, ini menjadi sebuah keuntungan tersendiri buat timnas kita. Optimisme publik pun cukup tinggi.
Tingginya optimisme publik, dan status sebagai tuan rumah, lalu direspon PSSI, dengan memasang target prestasi tinggi di kedua event ini: lolos ke babak semifinal. Jelas, PSSI ingin coba memanfaatkan situasi, dengan membangun narasi optimis. Lagipula, animo suporter Indonesia cukup tinggi. Timnas pun selalu tampil penuh semangat di kandang sendiri.
Tapi, jika melihat situasi dan kondisi yang ada, jujur saja, saya justru melihat, target prestasi tinggi ini, adalah satu hal yang sangat tak masuk akal. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya harus mengatakan, timnas kita belum cukup layak, untuk dibebani target setinggi itu. Mengapa demikian?
Dari sisi 'bahan baku', yakni pemain, kita masih belum punya sistem pembinaan yang jelas."Filanesia" yang selama ini getol disuarakan PSSI pun masih belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Alhasil, kualitas pemain yang dihasilkan terkesan "seadanya". Hal ini diperparah, dengan masih buruknya kualitas tata kelola sepak bola nasional di berbagai aspek. Dengan kualitas seperti ini, memberi target prestasi tinggi, adalah sebuah kesalahan fatal.
Jika sepak bola nasional diibaratkan sebagai sebuah pabrik, pabrik ini sebenarnya punya bahan baku berkualitas cukup baik. Tapi, bahan baku ini diolah secara alakadarnya. Akibatnya, kualitas produk hasil akhir yang dihasilkan pun alakadarnya. Jika produk asal jadi diadu dengan produk kualitas terbaik (yang bahan bakunya diolah dengan baik), kita sudah tahu apa hasilnya.
Masalah pembinaan pemain inilah, yang membuat timnas kita sering tampil dibawah ekspektasi publik. Dengan sistem pembinaan pemain alakadarnya, menuntut mereka tampil sempurna adalah satu hal yang sangat tak masuk akal. Malah, apa yang mereka tampilkan, justru kerap menampilkan secara jujur, inilah level kualitas sepak bola kita yang asli.
Tak heran, siapapun pelatih timnas, bahkan pelatih sekaliber Jose Mourinho sekalipun, mereka akan pusing tujuh keliling. Karena, target prestasi yang dibebankan dan kualitas pemain yang ada, ibarat pepatah " bagai pungguk merindukan bulan". Oke, di zaman modern ini, pungguk bisa mencapai bulan, dengan naik pesawat ruang angkasa. Masalahnya, kita masih berada dalam tahap bermimpi, jadi pepatah ini masih relevan.
Di sini, saya justru melihat, kebiasaan PSSI memasang target prestasi tinggi, hanyalah sebuah trik alibi, untuk menutupi kebobrokan tata kelola sepak bola nasional, yang sejak lama terkesan dibiarkan begitu saja oleh PSSI. Dengan trik alibi ini, jika prestasi timnas gagal memenuhi ekspektasi, pelatih-lah yang jadi kambing hitam. Celakanya, tak pernah ada perbaikan berarti pada sektor pembinaan pemain. Akibatnya, kualitas sepak bola nasional seperti jalan ditempat, lengkap dengan berbagai masalah klasik macam anarkisme suporter, tunggakan gaji pemain, dan Liga Indonesia yang kerap dirundung masalah.
Dari sinilah, saya pada akhirnya tak ingin berharap banyak pada timnas U-19 dan U-23, yang akan berlaga di Tanah Air. Dengan melihat situasi dan kondisi yang ada, saya memilih untuk hanya menikmati aksi mereka di lapangan, tanpa embel-embel target prestasi apapun. Karena, berharap terlalu banyak, hanya akan membuahkan kekecewaan.
Selebihnya, ini menjadi PR buat PSSI, dan semua pihak terkait, untuk segera serius membenahi pembinaan pemain muda kita. Supaya, Tim Garuda di masa depan punya kualitas yang layak diandalkan, untuk mencapai target prestasi tinggi. Karena, kita hidup di dunia nyata yang penuh realita, bukan di dunia mimpi, yang penuh bayangan indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H