Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menyoal Aksi Anarkis Oknum Suporter Sriwijaya FC

22 Juli 2018   12:14 Diperbarui: 22 Juli 2018   16:23 2250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal sepak bola di Indonesia, kita sepakat, olahraga satu ini menjadi satu olahraga favorit di Indonesia. Walaupun, sepak bola kita (ironisnya) lebih banyak membuat patah hati, dibanding mendatangkan prestasi membanggakan. Bahkan, kecintaan publik Tanah Air terhadap si kulit bundar kadang melampaui kecintaan terhadap bulu tangkis, olahraga yang sudah terbukti mampu mencetak banyak prestasi tingkat dunia buat Indonesia.

Di satu sisi, kecintaan publik kita terhadap sepak bola memang menyenangkan, ada gairah dan kecintaan luar biasa di sana. Saking cintanya, begadang atau bepergian jauh tak jadi soal, yang penting, bisa menonton aksi tim atau pemain idola. Sisi menyenangkan ini, terbukti mampu membuat banyak tim liga Eropa, menganggap kita sebagai ceruk pasar potensial. Anggapan ini makin kuat, dengan melihat jumlah penduduk Indonesia, yang melebihi 250 juta jiwa.

Sayangnya, seperti dua sisi mata uang, kecintaan publik kita akan sepak bola, ternyata masih punya sisi buruk. Sisi buruk itu adalah masih membudayanya aksi anarkis oknum suporter, yang umumnya disebabkan oleh keengganan dalam menerima kekalahan. Memang, tak ada suporter manapun di dunia ini, yang berharap agar tim pujaannya kalah. Tapi, kalaupun ternyata tim pujaannya itu kalah, bukan berarti itu jadi lampu hijau untuk berbuat anarkis.

Terkini, aksi anarkis kembali terjadi di Liga Indonesia, pada Sabtu, (21/7), tepatnya di ajang Liga 1 musim 2018, dengan oknum suporter Sriwijaya FC sebagai pelakunya. Aksi ini menjadi gambaran kekecewaan mereka, atas kekalahan telak Laskar Wong Kito di kandang sendiri. Dalam laga ini, Sriwijaya FC harus mengakui keunggulan tim tamu Arema FC, dengan skor 0-3.

Hasil ini menjadi lanjutan periode kurang baik mereka, setelah ditinggal pergi beberapa pemain kunci, termasuk Makan Konate (Mali), yang kini berseragam Arema FC. Ini adalah satu ironi, mengingat di awal musim kompetisi, Sriwijaya FC digadang sebagai salah satu kandidat juara liga. Tapi, penurunan performa Sriwijaya FC akhir-akhir ini, mau tak mau menegaskan, bahwa tim asuhan Rahmad Darmawan ini memang sedang sakit.

Sayangnya, penurunan performa itu, malah direspon oleh oknum suporter Sriwijaya FC, dengan cara melakukan aksi anarkis di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring. Akibatnya, 335 bangku stadion rusak, dan untuk sementara waktu, pihak pengelola stadion melarang Sriwijaya FC berkandang di Stadion Jakabaring. Larangan ini diberikan, karena akibat kerusakan ini, Stadion Jakabaring harus secepatnya berbenah. Seperti diketahui, Stadion Jakabaring adalah salah satu venue utama ajang Asian Games 2018 mulai bulan Agustus mendatang, alias tak sampai satu bulan dari sekarang.

Pastinya akan memalukan, jika kita dianggap gagal menjadi tuan rumah yang baik di event sekaliber Asian Games, hanya karena venue yang rusak akibat ulah oknum suporter anarkis. Boleh saja mereka berdalih, ini adalah kesalahan klub, yang gagal memenuhi ekspektasi. Tapi, bukan berarti mereka bebas merusak stadion.

Malah, aksi perusakan stadion sebenarnya adalah aksi yang salah alamat. Karena, kebanyakan stadion di Indonesia adalah milik pemerintah, klub hanya menyewa. Jadi, kalau sampai stadion rusak, klub akan rugi, baik akibat didenda, maupun harus jadi musafir, karena dilarang bertanding di kandang mereka. Padahal, bagi kebanyakan klub di Indonesia, dilarang bertanding di kandang sendiri adalah satu kerugian besar.

Aksi anarkis oknum suporter Sriwijaya FC, kembali menjadi satu potret buram fanatisme suporter sepak bola kita. Ibarat orang pacaran, mereka adalah pacar posesif, yang hanya mau menerima kemenangan. Ini jelas bukan sikap yang layak dibudidayakan. Jika memang tak siap kalah, sebaiknya jangan ikut kompetisi. Jadi, risiko kalah bisa dicegah sejak awal.

Di sisi lain, terulangnya aksi anarkis oknum suporter, masih menjadi tantangan buat PSSI untuk segera bertindak tegas. Supaya, ada efek jera bagi oknum suporter anarkis. Jika PSSI masih tak tegas, sulit untuk berharap, kualitas sepak bola Indonesia akan meningkat dalam waktu dekat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun