Gagal juara, itulah kesimpulan sederhana, dari capaian Timnas U-19 di Piala AFF U-18 tahun ini. Capaian ini diraih, setelah pada Kamis (12/7) lalu, Garuda Nusantara kalah 3-2 melawan Malaysia dalam babak adu penalti, setelah sebelumnya bermain imbang 1-1 di waktu normal plus babak extra time. Kekalahan itu terasa sangat getir, karena Timnas U-19 bermain di kandang sendiri, dan harus kehilangan Egy Maulana Vikri yang mengalami cedera kaki. Kegetiran itu makin lengkap, karena Thailand, yang notabene merupakan lawan tersulit, juga tersingkir di babak semifinal, setelah secara mengejutkan kalah 0-1 melawan Myanmar.
Kekalahan ini tentunya terasa sangat menjengkelkan, bagi mayoritas publik sepak bola nasional. Apalagi, Malaysia adalah tim rival abadi Tim Garuda. Jadi, kekalahan di kandang sendiri, jelas bukan hasil yang bisa diterima begitu saja. Tapi, apa boleh buat, inilah hasil akhirnya. Suka atau tidak kita tak bisa menolaknya.
Praktis, satu-satunya hal positif yang bisa kita lihat, dari penampilan Timnas U-19 adalah, sudah mulai terbentuknya kerangka tim, jelang turnamen Piala Asia U-19 edisi 2018, yang kebetulan juga akan dihelat di Indonesia. Ini menjadi sebuah kemajuan, setelah persiapan Timnas U-19 sempat tersendat, saat pelatih Indra Sjafri belum (kembali) bertugas.Â
Dengan modal ini, Timnas U-19 hanya perlu dipoles sedikit lagi, untuk bisa tampil bagus di Piala Asia U-19. Karena, lawan-lawan yang akan dihadapi lebih kuat. Apalagi, PSSI mematok target lolos ke babak semifinal. Jadi, diperlukan tim yang kompak untuk mewujudkannya. Untuk saat ini, Timnas U-19 sudah punya kekompakan yang baik, meski masih ada kekurangan yang harus segera diperbaiki, terutama dalam hal menghadapi tekanan mental yang cukup tinggi.
Selebihnya, Piala AFF U-18 tahun ini memberikan gambaran, tentang hal-hal yang sebaiknya jangan sampai terjadi di Piala Asia U-19 mendatang. Supaya, Garuda Nusantara minimal tak menanggung malu di negeri sendiri.
Pertama, PSSI jangan sampai gegabah, dalam mengevaluasi kinerja pelatih Indra Sjafri. Meski gagal meraih trofi juara, pria Minang ini masih layak dipertahankan. Karena, ia sedang dalam tahap membangun ulang tim, yang grafik perkembangannya cenderung stagnan, saat dirinya tak bertugas. Bagaimanapun, tak ada tim hebat yang bisa langsung jadi dalam sekejap.
Dengan kick off Piala Asia U-19 yang sudah mepet, dan mengingat tingginya target prestasi yang ditetapkan, akan sangat ceroboh, jika PSSI sampai (kembali) memecat Indra Sjafri, hanya karena gagal juara Piala AFF U-18, dengan tim yang belum sepenuhnya jadi. Â Toh, gagal juara bukan sebuah pelanggaran, tapi risiko dalam sepak bola. Jika hanya siap menang, tapi tak siap kalah, lebih baik tak usah ikut berkompetisi.
Tentunya, kita semua tak ingin, kiprah Garuda Nusantara di Piala Asia U-19 berakhir konyol, seperti kiprah timnas Spanyol (juara Piala Dunia 2010) di Piala Dunia 2018. Seperti diketahui, Tim Matador diasuh Fernando Hierro, pelatih darurat yang menggantikan Julen Lopetegui, hanya beberapa hari sebelum turnamen dimulai. Lopetegui sendiri dipecat, setelah kedapatan melakukan negosiasi, dan teken kontrak kerja dengan Real Madrid, tanpa sepengetahuan RFEF (PSSI-nya Spanyol). Sederhananya, tanpa sosok pelatih definitif, tim sekelas Spanyol saja bisa tampil sebegitu berantakan, apalagi Timnas U-19 kita.
Dari sisi suporter, kegagalan Garuda Nusantara kali ini, seharusnya bisa menjadi pelajaran berharga, agar kita tak selalu menaruh harapan terlalu tinggi kepada Timnas U-19. Karena, mereka belum sepenuhnya mampu menanggung harapan, yang justru kerap menjadi sebuah beban mental sangat berat. Kita boleh saja berharap, tapi jangan berlebihan, supaya saat gagal, kegagalan itu tak begitu menyakitkan, dan menjadi alasan untuk sampai bertindak anarkis.
Jadi, kita semua seharusnya perlu mulai membiasakan diri, untuk menikmati aksi Timnas kita apa adanya, tanpa ada apapun yang dilebih-lebihkan. Setidaknya, kita bisa belajar dari timnas Inggris dan Kroasia, yang sama-sama dianggap remeh dan kurang menarik perhatian, tapi mampu melaju jauh di Piala Dunia 2018, karena mereka bisa fokus sepenuhnya di lapangan, bukan jadi bintang di media. Pendekatan inilah yang seharusnya bisa kita contoh bersama, agar timnas kita mampu mengeluarkan kemampuan terbaik, dan mencatat prestasi positif di lapangan, seperti yang kita semua harapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H