Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas Korea Selatan, Kisah Lama yang (Kembali) Terulang

24 Juni 2018   16:09 Diperbarui: 24 Juni 2018   16:46 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Koreatimes.co.kr

Bicara soal timnas Korea Selatan, kebanyakan dari kita akan langsung menyebut mereka, sebagai salah satu tim raksasa Asia. Memang, untuk level Asia, Tim Ksatria Taeguk adalah salah satu tim terkuat di Asia, yang konsisten berada di level atas sejak lama.

Di level Asia, timnas Korea Selatan (Korsel) memang begitu digdaya. Dengan keunggulan postur tubuh yang mereka punya, mereka leluasa mengobrak-abrik pertahanan tim lawan, dengan skema umpan silang.

Jika metode ini tak mempan, ada senjata mematikan lain, yakni skema umpan terobosan, atau bola-bola daerah, yang bisa dengan leluasa mereka terapkan. Karena, selain berpostur tinggi, para pemain Korsel juga dianugerahi kecepatan lari istimewa, yang cukup menakutkan untuk level Asia.

Tak heran, kebanyakan tim di Asia, yang secara level kualitas berada dibawah Korsel akan bangga luar biasa, kalau hanya kalah tipis dari timnas Negeri Ginseng. Kebanggaan itu akan berlipat, jika Korsel mampu ditahan imbang, apalagi dikalahkan.

Salah satu tim yang pernah berbangga diri itu adalah timnas Indonesia, tepatnya saat turnamen Piala Asia 2007 berlangsung. Kala itu, meski kalah 0-1, Tim Garuda tetap kebanjiran pujian, karena dinilai tampil bagus. Padahal, berapapun skornya, kekalahan tetaplah kekalahan.

Tapi, meski digdaya di level Asia, timnas Korsel lebih banyak jadi bulan-bulanan lawan, saat naik tingkat ke Piala Dunia. Keunggulan fisik dan kecepatan mereka yang begitu ampuh di Asia, justru berbalik menjadi kelemahan utama yang ternyata sangat fatal.

Oke, untuk level Piala Dunia, mereka bisa saja membanggakan prestasi mereka di tahun 2002, saat menjadi semifinalis di rumah sendiri. Tapi, prestasi ini sebetulnya tak menggambarkan level kualitas mereka sebenarnya. Karena, kala itu mereka sangat terbantu dengan status mereka sebagai tuan rumah, dan "terbantu" juga oleh keuntungan yang diberikan wasit selama turnamen.

Praktis, titik terbaik mereka di Piala Dunia, yang didapat secara "bersih", adalah saat menjadi perdelapanfinalis di Piala Dunia 2010, sebelum akhirnya kalah 2-1 oleh timnas Uruguay. Selebihnya, Ksatria Taeguk hanya mengulang kisah yang sama; tersingkir di fase grup, dengan menjadi lumbung poin buat tim lawan.

Dan, kisah itu kembali terulang di Piala Dunia 2018. Dengan dimotori Son Heung Min (Tottenham Hotspur), timnas Korsel dua kali tumbang, atas Swedia (0-1) dan Meksiko (1-2), Sabtu, (23/6). Meski hanya kalah tipis di dua laga ini, Korsel terlihat sangat kerepotan.

Saat melawan Swedia, mereka kerepotan karena menghadapi lawan yang secara fisik lebih unggul. Sementara itu, saat melawan Meksiko, mereka juga keteteran, karena pemain-pemain Meksiko punya kecepatan dan teknik yang lebih unggul. 

Alhasil, mereka kerap dipaksa bermain bertahan (bukan menyerang seperti di Asia), dengan hanya mengandalkan serangan balik cepat, sebagai senjata utama. Tapi, pertahanan mereka ternyata tak cukup bagus. Terbukti, Swedia dan Meksiko sama-sama mendapat hadiah penalti, saat menghadapi Korsel, akibat pelanggaran yang pemain mereka lakukan di kotak penalti.

Penderitaan Korsel akan semakin lengkap, karena mereka akan menghadapi juara bertahan Jerman di partai terakhir fase grup. Dengan Jerman yang sedang dalam kepercayaan diri tinggi, usai menang dramatis 2-1 atas Swedia, Minggu, (24/6, dinihari WIB), akan sulit bagi Korsel untuk mencuri poin. Jika mampu menahan imbang saja, itu akan menjadi sebuah catatan manis, dibalik performa minor mereka di Rusia.

Apa yang ditampilkan timnas Korsel di Rusia, seolah kembali menegaskan, dominasi berlebihan mereka, dan rasa hormat berlebih tim-tim lawan di Asia kepada mereka, justru membuat mereka terlena, dan tak siap, saat harus menghadapi lawan yang lebih kuat di tingkat dunia.

Suka atau tidak, kita harus mengakui, dominasi tak sehat semacam inilah, yang membuat progres sepak bola Asia seperti jalan di tempat. Pada saat yang sama, cerita muram Korsel di Rusia juga membuktikan, sikap terlalu menghormati tim lawan yang punya nama besar, bukan sikap yang baik untuk terus dibudayakan. Karena, di atas lapangan, semua tim punya posisi setara, yang dibuktikan dengan skor 0-0, saat pertandingan dimulai.

Jangan Nonton Bola Tanpa Kacang Garuda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun