Di titik inilah, saya justru menemukan, perbaikan stadion di Indonesia ibarat buah simalakama; jika tak diperbaiki akan makin rusak, tapi jika diperbaiki tetap akan dirusak.Â
Sementara itu, untuk stadion baru situasinya tak kalah dilematis; jika tak dibangun jadi polemik, jika tak dirawat akan terbengkalai. Memang, untuk kasus di SUGBK, kerusakan kali ini tak parah.Â
Tapi, jika kerusakan sejenis terus berulang, dikhawatirkan kondisi SUGBK justru akan terlanjur babak belur saat Asian Games 2018 dimulai. Jika ternyata ini yang nantinya terjadi, kita hanya akan mendapat malu. Karena, kita gagal menjadi tuan rumah yang baik.
Agar 'budaya' merusak stadion dapat dikurangi (bahkan dihilangkan) di masa depan, perlu kerja sama tiap pihak terkait, untuk mengedukasi, dan memberikan penyadaran bagi para suporter, agar tak merusak fasilitas stadion.Â
Karena, sfadion ini dibangun (dan/atau direnovasi) dengan menggunakan uang rakyat. Jadi, kalau stadion ini dirusak sembarangan, maka tindakan itu sama dengan menyalahgunakan uang rakyat.Â
Jika kesadaran ini sudah terbentuk, suporter akan mampu menjaga ketertiban di dalam stadion. Otomatis, peluang terjadinya aksi anarkis oleh oknum suporter akan berkurang. Jika ini dapat terwujud, kemajuan prestasi di sepak bola nasional bukan lagi mimpi.
Semoga kita mampu mewujudkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H