Pada Sabtu (17/2) lalu, Piala Presiden edisi ketiga sudah berakhir, dengan Persija keluar sebagai juara, usai membekuk Bali United 3-0 di final. Tapi, perhelatan Piala Presiden kali ini, menyisakan beberapa masukan, yang dapat berguna untuk diterapkan di kompetisi Liga 1 2018.
Pertama, dari segi transparansi keuangan, apa yang sudah sukses diterapkan di Piala Presiden 2018, layak juga untuk diterapkan di Liga 1 2018. Seperti diketahui, di Piala Presiden, semua informasi terkait pemasukan tiket, dan uang hadiah yang didapat klub peserta, disampaikan secara terbuka dan mendetail ke publik. Tentunya, keterbukaan semacam ini, perlu diterapkan juga di Liga 1 dan kasta kompetisi di bawahnya. Mengingat panjangnya durasi kompetisi liga, potensi perputaran uangnya cukup besar. Disinilah transparansi dibutuhkan. Supaya, potensi pencucian uang bisa dicegah, dan profesionalitas kompetisi bisa semakin baik.
Kedua, PSSI perlu cermat dalam menyusun jadwal kompetisi. Karena, ada dua klub (Persija Jakarta dan Bali United) yang mewakili Indonesia di Piala AFC. Di sini, PSSI harus menyusun jadwal yang mampu mengakomodasi kedua klub ini, agar bisa tampil dalam kondisi prima. Karena, salah satu poin kunci penilaian koefisien kompetisi liga menurut AFC, adalah prestasi klub wakil suatu negara, di kompetisi antarklub tingkat benua seperti Piala AFC. Semakin tinggi prestasi yang dicapai, semakin tinggi juga potensi naik peringkat suatu liga. Semakin tinggi peringkat suatu liga, semakin baik juga kualitas liga tersebut.
Tantangan lain terkait penjadwalan, yang akan muncul di Liga 1 2018 adalah, gelaran Asian Games 2018 di Tanah Air. Berhubung PSSI mematok target prestasi tinggi di ajang ini, maka jadwal kompetisi liga harus mampu mengakomodasi kepentingan timnas. Jelas, PSSI harus konsekuen dengan target yang mereka bidik di Asian Games 2018. Jika ternyata PSSI lalai dalam menyusun jadwal, yang berakibat pada kegagalan timnas meraih prestasi di Asian Games, tak ada pihak yang lebih layak disalahkan, selain PSSI sendiri.
Ketiga, PSSI perlu hati-hati dalam menerapkan regulasi terkait pemain muda dan standar kualitas pemain asing. Terkait regulasi pemain muda, PSSI perlu menerapkan regulasi yang jelas, dan tidak seenaknya distop di tengah jalan. Sementara itu, terkait regulasi standar kualitas pemain asing, PSSI perlu berpikir objektif. Dalam hal ini, PSSI perlu memperhatikan kondisi keuangan klub. Karena, anggaran gaji untuk pemain asing butuh dana tak sedikit. Semakin tinggi level standar kualitasnya, semakin mahal juga standar gajinya. Jelas, PSSI harus lebih hati-hati dalam memutuskan level standar kualitas pemain asing. Supaya, tidak muncul masalah lanjutan berupa tunggakan gaji pemain.
Keempat, PSSI perlu mulai menerapkan sanksi dengan efek jera, jika ada anarkisme suporter yang berdampak merusak. Seperti diketahui, animo pecinta bola nasional begitu tinggi. Sayangnya, animo itu sering berlebihan, bahkan kadang berdampak merusak. Memang selama ini, PSSI kerap memberi sanksi denda, tapi sanksi itu kurang efektif. Karena, aksi anarkis suporter masih kambuh lagi. Otomatis, PSSI perlu menerapkan sanksi tegas, misalnya dengan menjatuhkan hukuman denda plus bertanding tanpa penonton, yang tak bisa ditawar-tawar lewat banding. Supaya, "hooliganisme" tak tumbuh subur di sepak bola nasional.
Bisa, PSSI?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H