Pada Kamis (25/1) lalu, melalui situs resminya (FIFA.com), FIFA mengakui bahwa Indonesia adalah negara wakil benua Asia pertama, yang tampil di Piala Dunia. Pengakuan ini disampaikan FIFA, dalam posting kilas balik Piala Dunia 1938, yang saat itu dihelat di Prancis. Kala itu, kelolosan timnas Hindia Belanda (nama Indonesia sebelum merdeka tahun 1945) agak berbau keberuntungan. Karena, di fase kualifikasi, timnas Jepang yang sedianya menjadi lawan mengundurkan diri. Otomatis, Hindia Belanda lolos ke Prancis tanpa harus bertanding.
Dalam turnamen itu, timnas Indonesia bentukan NIVU (Uni Sepakbola Hindia Belanda, federasi sepakbola bentukan pemerintah kolonial Hindia Belanda) langsung tersingkir di fase awal, usai dihajar timnas Hongaria 6-0. Di akhir turnamen, Hongaria kalah atas Italia di partai final.
Sekilas, pengakuan FIFA atas keikutsertaan timnas Indonesia di Piala Dunia 1938 tampak membanggakan. Tapi, pengakuan ini memunculkan satu pertanyaan: "so what gitu loh?". Karena, momen ini sudah terjadi 80 tahun silam, saat bangsa kita masih belum merdeka. Jadi, sebetulnya pengakuan FIFA ini tak mengubah apapun.
Mungkin, pertanyaan saya tadi terdengar kasar. Tapi, meski tampak membanggakan, pengakuan FIFA ini juga terlihat seperti sebuah sentilan. Karena, setelah merdeka, Indonesia tak pernah lolos ke Piala Dunia. Malah, sepak bola nasional masih saja lengket dengan masalah, seperti tata kelola kompetisi yang amburadul dan pembinaan pemain yang tak pernah digarap serius.
Celakanya, saat rival-rival di ASEAN mulai "naik level", kita masih jalan di tempat. Contoh terkini, saat Vietnam sukses menembus final Piala Asia U-23 2018, Tim Garuda malah gagal lolos ke turnamen ini, dan masih berkutat di level ASEAN. Seperti biasa, media kita malah membanggakan capaian Vietnam, dengan dasar "solidaritas sesama tim ASEAN". Jadi, sebetulnya pengakuan FIFA, soal penampilan Timnas Indonesia tahun 1938 ini, tak ubahnya sebuah sentilan, setelah sebelumnya 'ditampar' dengan capaian luar biasa timnas Vietnam.
Seharusnya, momen ini bisa dimanfaatkan semua "stakeholder" sepak bola nasional (termasuk PSSI), untuk serius berbenah. Perlu ada sistem pembinaan yang jelas, dan regulasi kompetisi yang tegas, supaya kita bisa lekas mengejar ketertinggalan saat ini. Jika tidak, sepak bola kita akan semakin tertinggal di masa depan.
Catatan sejarah positif di masa lalu memang membanggakan. Tapi, itu hanya akan merusak, jika kita terlena olehnya. Karena, kita tak hidup di masa lalu. Kita hidup di masa kini, dengan belajar dari semua kelebihan maupun kekurangan yang ada di masa lalu, supaya kita bisa menjadi lebih baik di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H