Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Anomali Sepak Bola Afrika

30 Januari 2018   07:15 Diperbarui: 30 Januari 2018   07:18 1890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Drogba & Eto'o (FIFA.com)


Bicara soal Benua Afrika, kita semua sepakat, benua ini punya potret yang cukup ironis. Seperti kita ketahui bersama, Benua Hitam kaya akan sumber daya alam, tapi akrab dengan kemiskinan, dan gejolak sosial-politik dari masa ke masa. Jelas, ini adalah sebuah anomali negatif.

Uniknya, anomali juga akrab dengan sepak bola di Benua Hitam dari masa ke masa. Tapi, anomali ini adalah anomali yang sifatnya positif.

Anomali sepak bola Afrika terlihat jelas, dari kondisi persepakbolaan domestik mereka, dan "output" yang dihasilkan. Secara kondisi, kompetisi domestik di negara-negara Benua Hitam, hampir sama dengan Indonesia; masih banyak kekurangan di berbagai sisi, seperti infrastruktur, dan pembinaan pemain muda.

Memang, untuk sektor infrastruktur, kesuksesan Afrika Selatan menggelar Piala Dunia 2010, bisa menjadi bantahan. Tapi, pada kenyataannya, setelah turnamen empat tahunan itu selesai, kebanyakan stadion tempat berlangsungnya laga Piala Dunia 2010, sudah beralih fungsi menjadi arena konser. Karena, di Afrika Selatan, olahraga sepak bola masih kalah populer dibanding olahraga rugby.

Untuk pembinaan pemain muda, situasinya cukup muram; infrastruktur yang ada serba pas-pasan, kualitas kompetisi, dan sistem pembinaan pemain yang ada kurang mampu mendukung melimpahnya potensi bakat-bakat yang ada. Tapi, untunglah, kelemahan-kelemahan ini mampu ditutupi dengan keberanian para pemain muda asal Afrika, untuk keluar dari zona nyaman. Dalam artian, mereka berani merantau ke luar negeri, dan mau berusaha keras. Meskipun, tak bisa dipungkiri bahwa faktor ekonomi juga menjadi satu motivasi kunci, yang mendorong mereka untuk maju. Memang, bagi sebagian orang, sepak bola adalah jalan keluar dari kemiskinan. Selain di Afrika, pandangan ini juga berlaku di negara-negara Amerika Latin, seperti Brasil dan Argentina.

Berkat anomali 'positif' inilah, dari masa ke masa, selalu muncul pemain-pemain top asal Afrika. Pada tahun 1980-an sampai awal 1990-an, ada Thomas N'Kono dan Roger Milla (Kamerun), disusul George Weah (Liberia) dan Nwankwo Kanu di paruh kedua 1990-an. Di era 2000-an, ada Michael Essien (Ghana), Samuel Eto'o (Kamerun), dan Didier Drogba (Pantai Gading), disusul Sadio Mane (Senegal), Mohamed Salah (Mesir), dan Pierre-Emerick Aubameyang (Gabon) di era terkini.

Bagusnya kualitas para pemain asal Afrika, membuat mereka selalu diamati klub-klub Eropa. Selain itu, mereka juga 'laku' di liga-liga benua Asia. Ibarat produk komoditas pertanian, pemain asal benua Afrika adalah "produk kualitas ekspor", seperti halnya pemain asal Amerika Selatan. Secara individual, bagusnya kualitas pemain asal Afrika, setidaknya terlihat jelas, dari kesuksesan George Weah memenangkan Ballon d'Or 1995. Weah masih menjadi satu-satunya pemenang Ballon d'Or, yang bukan berasal dari Eropa atau Amerika Selatan hingga kini.

Meski banyak pemain asal Afrika, yang berkiprah di luar negeri, tak ada satu pun negara Afrika yang protes. Karena, para pemain 'perantau' ini justru mampu memberi nilai tambah positif, bagi tim nasional masing-masing. Terbukti negara wakil-wakil Afrika, mampu mencatat prestasi bagus di kompetisi tingkat dunia. Di ajang Olimpiade, ada Nigeria (1996), dan Kamerun (2000), yang pernah meraih medali emas. Di ajang Piala Dunia, ada Kamerun (1990), Senegal (2002), dan Ghana (2010), yang mampu menembus babak perempat final.

Anomali 'positif' sepak bola Afrika menunjukkan, betapa besarnya potensi yang mereka punya. Karena, dalam kondisi yang serba terbatas, selalu muncul pemain hebat asal Afrika. Kalau saja potensi itu dikelola dengan benar, bisa jadi negara-negara Afrika mampu bersaing ketat, dengan negara-negara Eropa dan Amerika Latin. Pada saat bersamaan, anomali sepak bola benua Afrika menunjukkan, keterbatasan infrastruktur dan kualitas kompetisi bukan masalah bagi pemain yang ingin mengembangkan bakatnya secara serius, selama mereka masih punya keberanian, dan tak terlena dengan zona nyaman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun