Bicara soal program acara televisi "Dahsyat", yang tayang di stasiun  TV RCTI, tentu tak lepas dari kata "distorsi" dan "kasus", terutama pada akhir-akhir ini. Pada kata kedua, para pembaca pasti sudah langsung paham, akan kemana arah tulisan Saya kali ini. Tapi meski terdengar asing, kata pertama, justru menjadi kunci dari munculnya kata kedua, dalam kaitannya pada apa yang akhir-akhir ini terlanjur melekat pada program acara televisi "Dahsyat". Mengapa demikian?
Karena, di awal kemunculannya, "Dahsyat" adalah program acara yang secara spesifik memang fokus di segmen musik nasional. Kemunculan "Dahsyat", hampir berbarengan dengan berhenti tayangnya program "MTV Ampuh" besutan Global TV (kini GTV) di televisi nasional. Tak heran, Dahsyat hanya perlu waktu sebentar, untuk naik kelas menjadi program televisi yang populer di masyarakat. Bahkan, acara ini menjadi pionir munculnya program-program sejenis, di televisi lain setelahnya.
Dalam perjalanannya, popularitas "Dahsyat", jika dibanding program-program acara sejenis, tetap relatif stabil. Tapi, tuntutan untuk terus menjaga rating, dan tetap diterima masyarakat, membuat program acara "Dahsyat" seperti lupa diri. Dari yang awalnya murni acara musik, "Dahsyat" memasukkan unsur hiburan komedi sebagai variasi. Ironisnya, unsur baru ini makin lama justru makin mengikis porsi "musik", yang menjadi wujud awal acara ini.
Situasi ini diperparah, dengan keberadaan para komedian sebagai pengisi acara. Mungkin, ini terlihat sebagai langkah jitu menyegarkan suasana. Tapi, menempatkan komedian, yang pengetahuan tentang musiknya kurang memadai untuk memandu acara musik, jelas menjadi satu blunder yang cukup merusak. Apalagi, unsur komedi yang ditonjolkan, sering kebablasan menjadi aksi "bullying", dengan dibumbui adanya kata-kata maupun tindakan kurang pantas yang merugikan, dan tak patut dicontoh khalayak. Ibarat makanan, ini seperti mencampur semangkuk besar mie, Â dengan es krim coklat, bukan kuah kaldu, sebagai kuahnya.
Akibat semua kesemrawutan ini, wujud asli program "Dahsyat" menjadi tak jelas; acara komedi bukan, disebut acara musik juga sudah tak pantas. Di titik inilah, "Dahsyat" mengalami distorsi (pergeseran) identitas; dari acara musik, menjadi acara yang justru akrab dengan kasus, akibat tindakan kurang pantas yang sesekali muncul. Akibatnya, timbul reaksi negatif dan kegaduhan di masyarakat. Tapi, kegaduhan itu biasanya segera selesai, setelah permintaan maaf dilayangkan. Di sisi lain Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), juga masih amat baik hati, dengan tidak menjatuhkan sanksi yang dapat menimbulkan efek jera. Padahal, kasus sejenis ini sudah berulang kali terjadi, dan ditonton masyarakat luas.
Terkini, pada Jumat (19/1), "Dahsyat" kembali membuat gaduh publik, dengan sebuah "game makan donat" yang dinilai melecehkan martabat anggota TNI AD, seperti pada gambar berikut ini:
Terlepas dari bagaimana akhir kasus ini nantinya, kasus "Donat Dahsyat", menjadi satu potret miris pertelevisian nasional masa kini; Rating nomor satu, yang lain nomor seribu. Memang, tidak semua acara televisi berpandangan seperti ini. Tapi, kasus ini seharusnya menjadi alarm peringatan terbaru bagi KPI dan pihak-pihak terkait; sebuah tontonan tak boleh asal jadi atau asal bunyi, harus berkualitas baik. Karena sebuah tontonan bisa menjadi sebuah tuntunan, yang dapat berperan membentuk baik-buruknya perilaku masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H