Di sepak bola, dari masa ke masa, selalu muncul generasi tim nasional yang sukses, atau gagal total, dalam hal meraih prestasi di turnamen antarnegara. Tapi, dari masa ke masa, selalu muncul juga generasi tim nasional, yang berposisi "nanggung", antara "sukses" dan "gagal". Dalam artian, mereka belum sukses meraih gelar juara, tapi tak bisa dibilang gagal total. Melihat posisinya, generasi berprestasi "nanggung" ini, layak disebut sebagai "Generasi Patah Hati".
"Generasi Patah Hati" pertama, muncul dari timnas Yugoslavia era 1960-an. Kala itu, tim berjuluk "Brasil dari Eropa" ini, menjadi salah satu tim terbaik pada masanya, berkat keunggulan fisik, yang berpadu padan dengan kualitas teknik yang mereka punya. Dengan dimotori secara bergantian oleh Drazan Jerkovic (1960-1964), dan Dragan Dzajic (1964-1978), timnas Yugoslavia sukses mencapai posisi 4 besar di Piala Dunia 1962. Inilah prestasi terbaik Plavi (Si Biru) di Piala Dunia, setelah mencapai semifinal, di edisi 1930.
Di dekade selanjutnya, yakni tahun 1970-an, predikat "Generasi Patah Hati", dipegang oleh timnas Belanda. Kala itu, Tim Oranye yang dimotori Johan Cruyff, dan dilatih Rinus Michels, sukses menembus final Piala Dunia 1974. Sayang, mereka kalah 1-2 dari Jerman, yang dikapteni Franz Beckenbauer.
Kesempatan berikutnya, datang di Piala Eropa 1976, dan Piala Dunia 1978. Sayang, meski sukses menembus babak akhir, Tim Oranye gagal meraih trofi di dua turnamen ini. Di Piala Eropa 1976, Belanda kalah 1-3, di babak semifinal, dari Cekoslovakia (yang akhirnya menjadi juara). Di Piala Dunia 1978, Belanda, yang kala itu tak diperkuat Cruyff, kalah 1-3 di final dari Argentina yang dimotori Mario Kempes. Meski selalu gagal meraih trofi, "Generasi Patah Hati" kali ini banyak diingat orang sebagai "Juara Tanpa Mahkota", berkat permainan atraktif mereka.
"Generasi Patah Hati" berikutnya, datang dari timnas Brasil era 1980-an, yang dilatih Tele Santana, dengan dimotori Zico dan Socrates. Kala itu, Brasil banyak dikagumi, berkat permainan menyerang mereka. Tapi, mereka selalu gagal meraih trofi. Di Piala Dunia 1982 dan 1986, mereka selalu tersisih di perempat final. Di tingkat benua, prestasi terbaik mereka, adalah sukses lolos ke final, di Copa America 1983. Sayang, mereka kalah 2-0 dari tuan rumah Uruguay yang dimotori Enzo Fransescoli.
Tim kedua adalah timnas Argentina "zaman now" yang dimotori Lionel Messi. Meski dimotori pemain sekelas Messi, Tim Tango belum juga mampu meraih trofi juara. Prestasi tertinggi mereka, adalah lolos ke final Piala Dunia 2014 (kalah 0-1 dari Jerman), final Copa America 2015, dan final Copa America Centenario 2016 (keduanya kalah adu penalti dari Cile). Praktis, dengan usia mereka saat ini, Piala Dunia 2018, akan menjadi kesempatan terakhir bagi Tim Tango generasi Messi cs (yang sebagian sudah berusia 30-an tahun saat Piala Dunia 2018) untuk meraih trofi. Jika ternyata kembali gagal di Rusia, mereka akan diingat, sebagai "Generasi Patah Hati", dengan medali emas Olimpiade 2008, sebagai satu-satunya gelar mayor yang diraih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H