Jika bicara soal Liga Inggris (EPL), kebanyakan orang akan langsung menyebut, kalau liga ini kompetitif. Di liga ini, jarang ada tim yang mampu juara liga beruntun, atau melaju mulus tanpa hambatan. Karena, perbedaan kualitas kemampuan antartim di EPL tak berbeda jauh. Faktor inilah, yang membuat Liga Inggris begitu populer.
Situasi ini amat berbeda dengan Bundesliga, yang dimonopoli Bayern, La Liga yang rutin diperebutkan Madrid-Barca, atau Serie A, yang belakangan dikuasai Juventus. Dongeng keajaiban Leicester City musim 2015/2016, menjadi bukti sahih betapa dinamisnya EPL, terutama sejak dimulainya era Roman Abramovich di Chelsea. Jika bukan di EPL, dongeng juara Si Rubah mungkin hanya akan jadi dongeng belaka.
Tapi, pada musim 2017/2018, cap liga kompetitif itu justru hilang. Penyebabnya, Manchester City (nilai 58), unggul 15 poin dari Manchester United (posisi 2, nilai 43). Keunggulan ini didapat City, setelah mereka menang 1-0 atas tuan rumah Newcastle, berkat gol Raheem Sterling, Kamis, (28/12, dinihari WIB). Sehari sebelumnya, United bermain imbang 2-2 melawan Burnley.
Tak heran, performa mantap City, yang sejauh ini sukses mencetak 19 kemenangan dan sekali imbang dari 20 laga, membuat mereka dicap negatif suporter tim lawan. Karena, di bawah arahan Pep Guardiola, City 'sukses' membuat EPL jadi tampak membosankan, seperti saat Pep mengasuh Barcelona dan Bayern Munich. Menariknya, belakangan muncul banyak suporter lawan, yang kompak mendoakan City cepat terpeleset, supaya EPL bisa kembali kompetitif.
Tapi, apa benar penyebab laju kencang City musim ini hanya Pep seorang? Jelas sama sekali tidak. Karena, ada faktor internal dan eksternal, yang menyebabkannya.
Secara internal, laju impresif City ini, disebabkan oleh belanja besar-besaran di musim panas. Belanja ini, sekaligus menjadi ajang peremajaan tim. Hal ini dibuktikan, dengan digaetnya pemain-pemain macam Ederson, Danilo, dan Bernardo Silva, yang masih berusia relatif muda. Di sisi lain, City mendepak pemain senior macam Joe Hart, Bacary Sagna, dan Pablo Zabaleta, yang rata-rata berusia 30 tahun keatas.
Pembenahan besar-besaran ini, diikuti dengan penyegaran sistem permainan. Dengan menjadikan Kevin De Bruyne dan David Silva, sebagai motor serangan, Pep tak lagi hanya mementingkan soal bermain indah, yang terbukti gagal musim lalu. Kali ini, Pep memadukannya, dengan efektivitas serangan yang mematikan. Di sini, Pep sukses menerapkan secara utuh, filosofi "pertahanan terbaik adalah menyerang", yang diajarkan Johan Cruyff, pelatihnya semasa bermain di Barcelona dulu.
Secara eksternal, City diuntungkan, dengan bermasalahnya performa tim-tim rival. Manchester United limbung, begitu memasuki pertengahan musim. Chelsea memang sedang melaju, tapi agak tersendat-sendat di awal. Liverpool, Arsenal, dan Tottenham Hotspur kompak tampil inkonsisten di liga Inggris.
Faktor-faktor inilah, yang sukses dimanfaatkan City, untuk menciptakan jarak keunggulan poin cukup jauh di EPL. Daripada hanya mengkritiknya 'membosankan', kita jangan lupa mengapresiasinya. Karena, ia sukses belajar, dari kegagalannya musim lalu.
Bagi tim-tim rival, laju impresif City seharusnya bisa jadi pelecut, untuk segera memperbaiki performa, supaya, persaingan di EPL dapat kembali hidup. Jika tidak, City takkan terkejar, dan berpeluang mencatat rekor perolehan poin di liga, dengan mengulang capaian tak terkalahkan Arsenal di EPL musim 2003/2004 silam.
Akankah City terus melaju?